Jumat, 31 Desember 2010

NASIB RSBI DI BALI BAGAI LAYANGAN PUTUS


Nasib sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) kini bagai layangan putus talinya. Terbang tidak jelas mengikuti arah angin tanpa ada yang memegang kendali. Gambaran ini muncul setelah membaca berita media pekan lalu, bahwa Gubernur Bali, Made Mangku Pastika sudah marah dan mengambil sikap apatis dan tak acuh akibat sikap para Bupati/Walikota (diluar Bupati Klungkung dan Bupati Bangli) yang tidak mau menyerahkan pengelolaan sekolah RSBI kepada propinsi. Sebenarnya, akar dari persoalaan ini adalah PP (Peraturan Pemerintah) No. 38/2007. Dalam PP ini disebutkan, dalam rangka pembiayaan sekolah RSBI harus dilakukan pembagian tugas. Untuk RSBI sekolah dasar dibiayai oleh pemerintah kabupaten, dan untuk RSBI SMP, SMA/SMK dibiayai oleh pemerintah propinsi. Semangat dari PP itu tentu ingin agar masing-masing pemerintah (propinsi dan kabupaten) bisa berkonsentrasi dalam mengembangkan sekolah RSBI sebab biaya pengelolaan sekolah RSBI memang tidak murah. Sekolah RSBI adalah sekolah yang dianggap telah mencapai standar nasional pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah dan diharapkan memiliki kemampuan “plus” lainnya. Untuk mencapai itu memang membutuhkan usaha dan perjuangan yang berat. Antara lain dalam proses belajar mengajar, menerapkan pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran, kemudian pembelajaran kelompok sains, matematika dan inti kejuruan menggunakan bahasa Inggris atau bilingual (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris). Untuk sarana dan prasarana, setiap ruang kelas harus dilengkapi dengan sarana pembelajaran berbasis TIK, perpustakaan dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia dan sekolah memiliki ruang multi media, ruang unjuk seni budaya, fasilitas olah raga, klinik dan lain sebagainya. Belakangan ini sudah ada arahan agar sekolah RSBI juga memiliki kantin kejujuran. Untuk tenaga pendidik, minimal 30 % guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A. Sedangkan untuk kepala sekolahnya juga minimal berpendidikan S2, mampu berbahasa inggris secara aktif, bervisi internasional, mampu membangun jejaring internasional, memiliki kompetensi manajerial, leadership dan entrepreunership yang kuat.

Tuntutan dari pemerintah pusat kepada sekolah RSBI tidak hanya sekedar dalam perbaikan proses belajar mengajar, kelengkapan sarana prasarana, dan peningkatan tenaga pendidik termasuk kepala sekolah saja, tetapi juga sekolah RSBI harus betul-betul menunjukkan “kesaktiannya”, yaitu meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni dan olah raga. Pun agar dapat “dipandang tidak sebelah mata” oleh lembaga internasional, sekolah RSBI disyaratkan harus sudah meraih sertifikat ISO 9000 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000. Masih panjang daftar beban sekolah RSBI, yaitu, harus merupakan sekolah multi kultural, mampu menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri, sekolah bebas narkoba dan rokok, sekolah bebas kekerasan, dan sekolah yang menerapkan prinsip kesetaraan jender dalam segala aspek pengelolaan sekolah.

Mungkinkah sekolah mencapai “angan-angan” dari konsep RSBI tersebut tanpa dukungan biaya yang memadai ? Pertanyaan ini tentu sudah menjadi pemikiran yang mendalam oleh Kemendiknas. Barangkali inilah yang menjadi salah satu dasar terbitnya PP 38/2007 yang antara lain mengatur pembagian tugas pengelolaan dan pembiayaan sekolah RSBI. Jika di sebuah kota terdapat sekaligus sekolah RSBI tingkat SD, SMP , SMA dan SMK, seperti misalkan di Kabupaten Buleleng, maka tentu akan sangat berat beban kabupaten yang harus menanggung biaya seluruh sekolah RSBI, yang kita ketahui tidak murah. Sementara itu, fakta yang terjadi selama ini, bahwa sekolah-sekolah yang berstatus RSBI tersebut sangat minim menerima dana pembiayaan dari anggaran APBD kabupaten. Apakah yang menyebabkan sekolah-sekolah RSBI tersebut seperti “ditelantarkan” oleh pemkabnya ? Jawabannya , mungkin keterbatasan dana yang dimiliki pemkab. Pembangunan yang harus dilaksanakan oleh pemkab tentu tidak hanya dibidang pendidikan, masih banyak sektor lain yang membutuhkan perhatian dan menjadi skala prioritas. Bahkan dibidang pendidikan saja banyak sekali persoalan yang masih harus ditangani dan membutuhkan biaya, seperti misalkan masih banyak gedung sekolah yang rusak, meubeler sekolah yang harus diganti, banyaknya anak-anak yang drop out, semakin meningkatnya jumlah anak lulusan SD yang tidak melanjutkan sekolah ke SMP dan masih banyak lagi. Sangat bisa dipahami bila pada akhirnya alokasi untuk sekolah RSBI belum menjadi yang mendesak bagi pemerintah kabupaten. Jika keadaan pemkab seperti ini, sementara ada PP yang memberi jalan keluar untuk masalah pembiayaan sekolah RSBI, tapi kenapa kabupaten/kota toh tidak mau menyerahkan sekolah RSBI ke propinsi ? Polemik yang berkembang di media massa nampaknya belum mengungkap masalah mendasarnya tentang mengapa kabupaten/kota tidak mau menyerahkan ke propinsi. Para Bupati belum berbicara, dan hanya walikota Denpasar yang mengatakan masih menunggu keputusan pusat. Sejauh ini dikatakan, bahwa Denpasar masih mampu untuk membiayai sekolah RSBI nya.

Persoalan tampaknya ada pada istilah “menyerahkan” , apalagi termasuk dipahami sebagai juga menyerahkan asset barang bergerak/tidak bergerak, SDM, dan tenaga pendidiknya. Di pihak kabupaten/kota, istilah tersebut terasa sangat menyakitkan, karena kabupaten yang selama bertahun-tahun merasa berjerih payah membangun sekolah-sekolah tersebut dan sekarang tiba-tiba saja pemerintah propinsi ingin mengambil dan bahkan diistilahkan “merebut”. Belum lagi kabupaten/kota juga memikirkan, bahwa dengan penyerahan sekolah RSBI ke propinsi, lantas khawatir akan kehilangan kewenangan “membina” sekolah maupun tenaga pendidik di sekolah tersebut.

Di pihak propinsi, “tafsir” PP 38/2007 adalah jika propinsi akan membiayai sekolah RSBI maka sekolah tersebut harus diserahkan kepada propinsi. Dengan demikian terjadi keadaan “deadlock”/jalan buntu. Keadaan ini sesungguhnya sudah berlangsung hampir setahun. Beberapa anggota DPRD Propinsi mencoba untuk membuka jalan buntu ini dengan memanggil Kadis Pendidikan Propinsi, ada sedikit harapan, yaitu Kadis Pendidikan Propinsi akan melakukan pertemuan dengan Kadis Pendidikan Kabupaten/Kota seluruh Bali. Duduk bersama sebagai upaya mencari jalan keluar untuk kepentingan bersama dan lebih luas tentu sebuah langkah yang baik. Tetapi mendadak saja ada sikap Gubernur yang marah dan tersinggung dengan sikap kabupaten/kota yang menganggap bahwa propinsi ingin merebut asset sekolah RSBI. Keadaan semakin runyam dan situasi serta nasib RSBI semakin tidak jelas. Anehnya pula, beberapa anggota DPRD yang sebelumnya sangat gencar mengangkat masalah ini juga tidak terdengar lagi komentarnya/suaranya.

Karena itu, ekspektasi RSBI harus jelas. Perlu terobosan untuk memecahkan kebuntuan ini, terutama menyangkut “tafsir” dari PP 38/2007 tersebut. Caranya ialah antara lain dengan “mendatangkan” orang pusat untuk memberi penjelasan/klarifikasi atas tafsir PP tersebut. Kedua, perlu dibangun komunikasi dan koordinasi antara Gubernur dan Bupati/Walikota, para pihak hendaknya dapat menghilangkan prasangka terlebih dahulu, lebih-lebih untuk , kepentingan masyarakat luas. Kabupaten/kota jangan tabu atau curiga dengan istilah menyerahkan asset, sebab senyatanya asset tsb masih berada di kabupaten/kota bersangkutan, yang bersekolah di sekolah RSBI itu masih juga warga kabupaten/kota tersebut, dan prestasi sekolah RSBI juga tetap mengharumkan dan menyebut nama kabupaten/kota tempat sekolah itu berada. Sementara itu pihak propinsi jangan mengedepankan sikap ingin menguasai, bisa memahami suasana kebatinan kabupaten/kota terhadap istilah “menyerahkan” tersebut, sehingga barangkali dapat menggunakan kata lain, seperti misalkan “sharing” pembiayaan dan lain sebagainya. Bahkan sebetulnya ada pasal dalam PP 38/2007 tersebut mengatakan bahwa suatu saat bila pemerintah kabupaten telah mampu mengelola, maka wajib bagi pemerintah propinsi untuk menyerahkan kembali ke kabupaten/kota.

Tetapi, jika semua upaya diatas tidak berhasil, dan bila masyarakat merasa dirugikan karena mahalnya biaya pendidikan di sekolah RSBI, bukan tidak mungkin dilakukan upaya “judicial review” ke MK terhadap PP 38/2007 agar mendapatkan tafsir yang jelas.