Rabu, 23 Maret 2011

Masyarakat Indonesia Tidak Siap Memiliki PLTN

Pembangkit Listrik bertenaga nuklir (PLTN) kini sedang menjalani nasibnya yang paling buruk. Sebabnya tidak lain, ledakan 4 reaktor nuklir di PLTN Fukushima , Jepang, menyusul gempa dan tsunami yang mengguncang Negara tersebut. Ledakan reaktor nuklir tersebut menghamburkan radiasi ke segala arah, dan menimbulkan kepanikan di seluruh dunia. Beberapa Negara maju yang memiliki PLTN telah mengambil sikap untuk mengevaluasi keberadaan PLTN mereka. Parlemen Amerika Serikat meminta pemerintahnya menghentikan penggunaan nuklir lagi untuk pembangkitan listrik. Jerman akan menghentikan pengoperasian PLTN nya selama 3 bulan sambil melakukan evaluasi menyeluruh. Perancis pun demikian, dan menyatakan ledakan reactor nuklir di Fukushima sebagai sangat serius. Sebagaimana diketahui, bahwa PLTN memiliki beberapa tipe/jenis. Dan PLTN yang beroperasi sekarang kebanyakan PLTN dari tipe lama yang tingkat pengamanannya masih belum sempurna. Sebagai contoh adalah PLTN di Fukushima tersebut adalah dari tipe BWR (Boiling Water Reactor/Reaktor Air Didih). Tipe reaktor ini merupakan PLTN generasi ke-2 yang pengoperasiannya dimulai tahun 1971. Wajar tipe PLTN ini masih beroperasi mengingat usia PLTN dirancang 50 tahun. Sesungguhnya perkembangan teknologi PLTN cukup pesat. Kini sudah dikembangkan PLTN generasi ke- 4, sebuah rancangan memiliki tingkat keamanan dan keselamatan yang dibuat secara alamiah melekat (inherent) dan semakin tidak bergantung pada operator atau alat aktif (passive safety).
Jepang Panik
Tetapi kondisi psikologis masyarakat sudah sedemikian takut dengan kejadian meledaknya PLTN Fukushima ini. Dampak beruntun telah terjadi, beberapa makanan sudah tercemari radiasi. Dideteksi Susu dan Bayam terkontaminasi radiasi pada tingkat yang tidak wajar. Taiwan bahkan menemukan makanan impor dari Jepang, yaitu setumpuk kacang fava terkontaminasi radiasi. Sebelumnya , telah dilakukan evakuasi besar-besaran penduduk Fukushima dalam radius 20 km sebanyak 170.000 orang. Pekerjaan ini tentu bukan pekerjaan yang ringan, selain membutuhkan biaya amat besar. Pemerintahan Jepang sudah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan meredam radiasi yang lebih besar. Bahkan, Negara yang memiliki semangat bushido dan harakiri itu masih belum bisa menjinakkan keliaran radiasi bahan bakar Uranium tersebut. Berbagai cara telah dilakukan untuk mendinginkan batang-batang berbahan radioktif untuk mencegah bahan radioaktif terlepas ke udara. Seorang ahli nuklir Inggris, Andrew Sherry mengatakan : “Saat ini pemerintah Jepang bingung dalam mengatasi sejumlah ledakan di PLTN Fukushima. Keputusan memompakan air melalui helicopter merupakan bukti dari kebingungan dalam mengambil keputusan.” Sekarang telah dilaporkan, nahwa tingkat radiasi di area Fukushima sudah mencapai tingkat 6 mendekati skala 7 yang menimpa Chernobyl 25 tahun lalu.
Bencana Fukushima dan Chernobyl dipisahkan oleh jarak waktu 25 tahun, namun manusia ternyata tetap tidak siap menyikapi ledakan PLTN. Bahkan , bencana nuklir yang kali ini terjadi di negara Jepang tetap membuat panik masyarakat Jepang. Padahal kita tahu, masyarakat Jepang pernah merasakan bencana nuklir saat bom nuklir dijatuhkan Amerika di 2 kota Jepang , Nagasaki dan Hiroshima. Secara mental mestinya bangsa Jepang paling siap menghadapi bencana nuklir kali ini. Apalagi sekarang ini terdapat 53 PLTN yang beroperasi di Jepang, yang menyumbang lebih dari 28 % kebutuhan listrik Jepang. Negara ini merupakan negara ke 3 di dunia yang memiliki PLTN terbanyak setelah Amerika dan Perancis. Bangsa Jepang juga merupakan bangsa yang sangat disiplin. Selama bencana ini dapat disaksikan betapa tertibnya masyarakat Jepang dalam antri bahan bakar, tidak ada penjaraahan, sikap saling menolong yang sangat besar, serta pengorbanan setiap individu untuk menyelematkan orang lain tinggi sekali.
Indonesia Tidak Siap
Sebuah kepahlawanan ditunjukkan oleh 50 orang karyawan Tepco,pengelola PLTN Fukushima, yang sampai sekarang masih bekerja untuk mendinginkan reaktor nuklir Fukushima yang meledak tersebut. Ke 50 orang tersebut tidak peduli dengan dirinya sendiri, karena ingin menyelamatkan ribuan manusia lainnya agar tidak tercemar radiasi nuklir. Mereka seakan telah menandatangani kontrak mati. Dunia menyebut mereka "Fukushima 50" , dan pengorbanan mereka dinilai sungguh di luar nalar manusia. Bayangkan, saat banyak orang memilih pergi sejauh mungkin dari kawasan nuklir tersebut, mereka justru berada sangat dekat dengan tempat berbahaya itu. Sudah lima belas orang mati akibat ledakan reaktor nuklir di PLTN Fukushima. Belum lagi, kita tahu bahwa efek radiasi sangat mematikan, seperti kemandulan dan kanker, tapi, itu tidak menggentarkan Fukushima 50 untuk mendedikasikan apa yang mereka miliki bagi keselamatan dunia.
Sulit kita bayangkan, bila Indonesia punya PLTN dan kemudian PLTN tersebut mengalami musibah seperti di Fukushima. Indonesia sangat jelas belum memiliki perangkat birokrasi yang sigap menangani bencana. Kita juga belum memiliki biaya yang cukup untuk mengevakuasi sejumlah besar warga. Bangsa Indonesia masih lemah dalam pengetahuan dan teknologi nuklir guna menghentikan bencana tersebut. Musibah lumpur Lapindo Sidoardjo mungkin menjadi contoh baik tentang bagaimana buruknya penanganan pemerintah dalam bencana tersebut. Sudah bertahun-tahun musibah Lapindo belum terselesaikan. Kita benar-benar sangat pesimis dengan cara-cara kita menangani setiap bencana. Karena itulah, marilah kita berfikir ulang seribu kali bila ingin membangun PLTN.

Jumat, 18 Maret 2011

Layakkah PLTN Di Indonesia ?


Gempa dahsyat berkekuatan 8,9 skala richter yang mengguncang Jepang hari Jumat lalu (11 Maret 2011), disusul dengan tsunami telah membuat Negara Sakura tersebut berada dalam krisis yang dalam. Berbagai fasilitas hancur mulai dari kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan pertanian, pelabuhan , bandara sampai ke Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Korban jiwa sementara ini sudah diperkirakan mencapai lebih dari 10.000 orang dan puluhan ribu lainnya masih dinyatakan hilang. PM Jepang, Naoto Kan mengakui bencana yang dihadapi Jepang kali ini adalah bencana paling buruk sejak berakhirnya Perang Dunia II. Para pemimpin dunia lainnya juga mengakui, bahwa bencana Jepang ini akan berdampak pula kepada negara-negara lain. Hal ini tidak dapat dihindari mengingat Jepang adalah negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ke 3 di dunia setelah Amerika Serikat dan RRC. Keterkaitan ekonomi Jepang dengan seluruh negara di dunia akan menyebabkan situasi ekonomi global akan terpengaruh.

Energi Nuklir

Selain masalah ekonomi, dunia akan menghadapi masalah baru sebagai akibat bencana ini. Masalah tersebut adalah masalah energi nuklir. Kekhawatiran masyarakat dunia kembali menyeruak terhadap keamanan pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkitan listrik. Ini dipicu oleh meledaknya dua reactor nuklir pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Jepang yang berlokasi di Fukushima. Radiasi nuklirpun tidak dapat dihindarkan memancar dari reaktor tersebut. Dikhabarkan sudah sebanyak 22 Orang pekerja disana yang kena radiasi nuklir. Bahkan sebanyak 190 penduduk yang tinggal dalam radius 10 km dari pusat radiasi itu sudah terpapar radiasi. Kepanikan kini melanda Jepang sebagai akibat potensi ancaman radiasi nuklir yang meluas. Hembusan angina akan berkontribusi menyebarkan maut radiasi. Badan Energi Atom International (IAEA) menyebutkan bahwa pemerintah Jepang telah mengevakuasi 210 ribu penduduk yang tinggal dalam radius 20 km sekitar reactor nuklir Fukushima.
Kepanikan melanda Tokyo karena jarak Tokyo dengan reactor nuklir yang meledak tersebut hanya sekitar 120 km. Hembusan angin akan membawa radiasi tersebut memasuki Tokyo. Beberapa expatriate (tenaga asing) berbondong-bondong meninggalkan Tokyo. Dan banyak negara telah melarang warganya terbang ke Tokyo. Radiasi nuklir ini bahkan telah terdetekksi pada jarak 96 km dari pusat reaktor oleh sebuah helicopter, sebagaimana dilaporkan Pentagon.
Kejadian di Jepang ini tentu akan menghidupkan kembali diskusi pro-kontra pembangunan PLTN di berbagai Negara termasuk di Indonesia. Perdebatan tentang perlukah Indonesia memiliki PLTN memang sudah sangat lama dan cenderung timbul tenggelam. Yang pro PLTN Indonesia cukup banyak karena memang PLTN memiliki beberapa keunggulan mencolok. Tetapi yang kontra pun tidak kalah banyaknya karena resiko PLTN sangat besar. Di tengah derasnya penolakan PLTN, bahkan sejak tahun 1975, BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) telah menetapkan Semenanjung Muria di Jawa Tengah sebagai lokasi PLTN pertama di Indonesia. Lokasi ini dianggap aman untuk PLTN karena jauh dari ancaman gempa maupun bencana alam. Namun kontra yang sangat kuat menyebabkan pembangunan PLTN di lokasi ini mengalami kegagalan. Kita ketahui Gus Dur, Presiden RI yang ke 4, jelas-jelas menentang rencana PLTN di Gunung Muria dan meminta agar PLTN ditempatkan pada suatu pulau yang terpisah. Almarhum Gus Dur memberi jalan tengah dengan mengusulkan Pulau Karimunjawa sebagai lokasi yang lebih layak untuk PLTN bila Indonesia ingin membangunnya. Alasannya, Pulau Karimunjawa terpisah dari Pulau Jawa, sehingga bila terjadi kebocoran radioaktif akan segera bisa diisolasi disana dan dampaknya pada penduduk yang padat di Jawa dapat dihindari. Bila pemerintah tetap ngotot menempatkan PLTN di Semenanjung Muria, ketika itu Gus Dur secara terbuka mengatakan akan mogok makan di Muria. Barangkali ciut dengan gertakan tersebut, BATAN mencari lokasi lain. Kini BATAN menoleh ke Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Berbagai persiapan dimulai oleh BATAN mewujudkan PLTN pertama di Indonesia. Menurut Kepala BATAN, Hudi Hastowo, selama 3 tahun kedepan (2011-2013) dialokasikan Rp. 159 milliar untuk studi kelayakan PLTN. Ambisi besar sedang dicanangkan, yaitu PLTN Babel akan berkapasitas 18.000 MW untuk melayani kebutuhan listrik seluruh Sumatra dan Jawa. Pemprov Babel pun sudah menyiapkan lahan 1.500 hektar.

Rawan Bencana

Tapi sekarang dengan situasi yang terjadi di Jepang, sebuah pertanyaan penting patut dikaji : Layakkah Indonesia memiliki PLTN ? Kepulauan Indonesia memiliki karakteristik yang mirip dengan Kepulauan Jepang, yaitu wilayah yang rawan bencana alam. Hal ini sudah terbukti dalam tahun-tahun terakhir. Berbagai bencana alam menimpa Indonesia seperti gempa disertai tsunami, gunung Merapi meletus dan bersamaan dengan itu banyak gunung berapi masih aktif. Pusat gempa ada dibanyak titik di Indonesia. Deretan gunung berapi yang berbaris dari Sumatera , Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa sampai ke Kepulauan Maluku merupakan cincin api (ring of fire). Sejauh ini ilmu pengetahuan belum mampu memprediksi kejadian gempa. Jepang sebagai negara dengan kemajuan teknologi yang tinggipun tetap saja kecolongan . Kapan terjadinya gempa nampaknya masih menjadi domain Tuhan.
Keraguan kita untuk meluluskan PLTN di Indonesia juga berdasarkan lemahnya disiplin bangsa Indonesia. Padahal PLTN menuntut penerapan disiplin yang tinggi. Security first menjadi jargon yang tidak bisa ditawar. Kita menyaksikan bangsa Jepang yang sangat disiplinpun dan dengan kepakaran pengetahuan mereka dibidang Nuklir tetap saja masih terjadi kepanikan.
Dan terakhir, bila terjadi bencana berupa meledaknya PLTN seperti di Chernobyl Rusia, Three Mile Island AS dan Fukushima Jepang, maka dampaknya luar biasa. Ratusan ribu orang akan menjadi korban radiasi. Tidak hanya manusia, tetapi juga binatang dan tumbuh-tumbuhanpun akan kena radiasi. Recoverynya akan membutuhkan waktu panjang.
Jadi, kita perlu mengevaluasi rencana PLTN di Indonesia.

Rabu, 26 Januari 2011

Minyak PLTGU Pemaron Cemari Laut Bali Utara







‎8 Tahun lalu, LSM LP3B Buleleng bersama-sama dengan PHRI Buleleng, ,asyarakat nelayan, kelompok snorkeling, pemerhati pariwisata buleleng melakukan penolakan keras terhadap rencana pembangunan PLTGU (berbahan bakar minyak) di desa Pemaron, dekat kawasan wisata Lovina, Buleleng. Namanya saja PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), tetapi tipe ini adalah tipe lama yang sudah uzur dan sdh 27 tahun beroperasi di Tanjung Priok, dipindahkan ke Buleleng. Tipe PLTGU lama belum menggunakan gas sebagai bahan bakar, melainkan memakai minyak HSD yang divaporized menjadi gas.

Kekhawatiran para penentang adalah bila terjadi kebocoran pada suplai minyak di laut. Kekhawatiran tersebut kini menjadi kenyataan. Ada keretakan pada saluran pipa minyak shg bocorlah minyak tersebut, dan fotonya dapat dilihat sekarang. Siapa yang harus bertanggung jawab ?

Selasa, 25 Januari 2011

Ketika Prabu Yudistira Berbohong

Salah satu episode dalam cerita pewayangan yang amat menarik adalah kisah tentang Aswatama. Dia seorang ksatria dan putra kesayangan Bagawan Drona. Sang Bagawan, sebagaimana kita simak dari cerita Mahabharata, merupakan Mahaguru dari para ksatria Pandawa dan Korawa ketika mereka masih kecil. Aswatama pun mengenyam ilmu militer bersama dengan mereka. Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah. Perang saudara keluarga Bharata di lapangan Kuru (Kurusetra) membuat Pandawa berhadapan dengan Korawa. Aswatama memihak kepada Korawa, sama dengan ayahnya. Dipihak Pandawa hanya ada Sang Kresna, yang dalam perang besar ini menempatkan diri sebagai saisnya Arjuna.

Kebohongan Publik Pandawa
Kekuatan Korawa pada Bagawan Drona, sedangkan tokoh pengatur strategi ulung dipihak Pandawa adalah Sang Kresna. Hanya Kresna yang bisa membaca, bahwa untuk melumpuhkan Korawa haruslah Bagawan Drona dihabisi dulu. Maka Kresna pun mengatur siasat. Pandawa diminta membuat “kebohongan publik”. Strategipun dimulai, Bima disuruh menyebarkan khabar bahwa Aswatama telah terbunuh, walaupun sebenarnya yang dibunuh oleh Bima adalah seekor gajah bernama “Hestitama”. Kakak Kandung Bima yaitu Prabu Yudistira juga disuruh berbohong bila Bagawan Drona menanyakan perihal berita kematian Aswatama. Padahal Yudistira merupakan ksatria Pandawa yang amat jujur dan berbudi pekerti paling luhur. Seumur-umur dia tidak pernah berbohong. Jangankan berbohong, menyakiti binatangpun dia emoh. Tutur katanya santun, dan amat penyabar. Karakternya berbeda 180 derajat dengan Bima. Diseluruh jagat Kerajaan Astina Raya, Yudistira merupakan ksatria yang amat dikagumi dan sangat dipercaya. Namun demi memenangkan suatu peperangan, berbohong “terpaksa” dihalalkan. Kresna tahu bahwa Bagawan Drona pasti akan bertanya kepada Yudistira tentang khabar yang disebarkan oleh Bima tersebut. Dan memang demikian, begitu Bagawan Drona mendengar khabar tentang “kematian” Aswatama, anak kesayangannya, seluruh sendi Bagawan Drona menjadi lemas, kesaktiannya seakan lenyap. Dia lantas ingin memastikan khabar tersebut benar atau salah dengan bertanya kepada ksatria yang dia anggap “tidak mungkin” berbohong, yaitu Yudistira. Sang Ksatria, sesuai dengan permintaan Kresna, hanya menganggukkan kepala ketika mantan guru besarnya , Bagawan Drona, bertanya. Dan anggukan kepala Yudistira dibaca oleh Bagawan Drona sebagai kebenaran berita kematian Aswatama. Akibatnya fatal, Bagawan Drona akhirnya dengan mudah dapat dibunuh oleh Drestadyumena.
Kematian Bagawan Drona karena ulah “kebohongan publik” Pandawa menyulut kemarahan sang Putra, Aswatama. Setelah perang usai, dia menuntaskan dendamnya dengan menyusup masuk saat tengah malam ke perkemahan Pandawa untuk membunuh kelima ksatria Pandawa. Namun dia gagal, dan yang berhasil dibunuh adalah 5 orang putera dari Pandawa, Dewi Drupadi dan Dewi Srikandi.


Motif Berbohong
Ketika seseorang harus berbohong tentu ada motifnya, apalagi seorang ksatria seperti Yudistira. Apa yang terjadi dalam perang Bharatayuda jika Prabu Yudistira tidak berbohong ? Sangat mungkin pemenang Bharatayuda bukan lagi Pandawa melainkan Korawa. Maka seorang Yudistira barangkali sangat sadar akan manfaat kebohongannya, jelas motifnya adalah demi kebaikan, demi memenangkan peperangan melawan Korawa. Dengan begitu, bukankah itu berarti berbohong tidak selalu jelek atau berkonotasi negatif ? Bayangkan pula dalam sebuah keluarga yang suaminya melakukan selingkuh, tentu tanpa sepengetahuan istrinya. Ketika istrinya mencium gelagat selingkuh suaminya lalu sang istri bertanya kepada sang suami, maka sangat mungkin sang suami akan berbohong. Bila saja dia tidak berbohong atau mengatakan sejujurnya bahwa dirinya selingkuh, dapat dibayangkan akan terjadi huru hara dalam rumah tangganya. Jadi, sang suami berbohong demi menyelamatkan nasib perkawinannya. Contoh lain, seorang dokter yang telah mengetahui pasiennya hidup tidak lama lagi, tentu saja dia tidak serta merta harus mengatakan jujur kepada pasiennya. Dalam batas-batas tertentu, seorang dokter diijinkan berbohong untuk meminimalkan perasaan “shock” pasiennya. Maka sang dokter terpaksa berbohong demi ketentraman perasaan pasiennya. Banyak contoh perbuatan berbohong yang memiliki motif baik. Tetapi pada umumnya masyarakat menilai perbuatan berbohong adalah perbuatan yang tidak terpuji. Berbohong dan karakter jelek selalu dianggap bergandengan.
Barangkali karena itulah timbul reaksi keras dari pemerintahan SBY ketika baru-baru ini para tokoh lintas agama menyatakan pemerintahan SBY berbohong. Melalui Menko Ekuin Hatta Rajasa dan Menko Polhukam Djoko Suyanto, pemerintahan SBY tidak terima disebut berbohong. Dan tidak tanggung-tanggung, para tokoh lintas agama mencatat 18 kebohongan yang terdiri dari 9 kebohongan lama dan 9 kebohongan baru. Inilah kritik paling keras selama SBY menjadi Presiden. Tudingan ini mempunyai bobot tersendiri mengingat yang melemparkan ke publik adalah para tokoh agama.

Setgab Bukan Kresna
Mengapa para tokoh agama tersebut bersuara keras ? Mengapa harus menggunakan kata “berbohong” dan bukan kata “gagal” ? Menurut salah seorang staf khusus Presiden, Daniel Sparingga, bahwa jika para tokoh lintas agama menggunakan kata “gagal” atau “ingkar janji” mungkin masih bisa diterima oleh pemerintah. Maka sungguh terkesan dalam pernyataan para tokoh agama tersebut ada semacam frustasi sosial yang menumpuk melihat antara kenyataan dan apa yang diklaim oleh pemerintah.
Sekarang ada gerakan di facebook untuk mendukung para tokoh lintas agama tersebut. Situasi nampaknya akan semakin sulit ketika dukungan masyarakat kepada tokoh lintas agama semakin kuat. Presiden nampaknya harus sendirian berhadapan dengan kritik tokoh agama tersebut. Setgab mungkin tidak bisa diandalkan, dan pada akhirnya barangkali Presiden akan sadar bahwa kalkulasi politik dengan cara membangun koalisi partai hampir sia-sia bila program pemerintah tidak pro Rakyat.
SBY tidak perlu meniru Prabu Yudistira, yang menyembunyikan fakta untuk sebuah kemenangan. Ketika Prabu Yudistira berbohong landasan filosofi berfikirnya berbeda. Prabu Yudistira memiliki Kresna yang arif dan bijaksana, sementara SBY hanya memiliki Setgab.(***)

Minggu, 16 Januari 2011

Mewacanakan Singaraja Kota Pendidikan


Di harian Bali Express, pada hari Selasa 11 Januari 2011 yang lalu, Romi Sudhita, menulis tentang Kota Singaraja yang berpotensi jadi Kota Pendidikan. Dalam tulisannya, Romi berpendapat bahwa Singaraja memang cukup layak untuk menjadi sebuah kota pendidikan di Bali, mengingat selain beragam sekolah ada di Singaraja, juga prestasi siswa-siswa dari sekolah-sekolah di Singaraja sangat mumpuni sampai ke tingkat nasional. Ada beberapa contoh yang telah disebutkan, walaupun sesungguhnya, sebagaimana penulis ketahui, masih panjang daftar prestasi yang berhasil diraih para pelajar Buleleng. Prestasi tentu banyak berkaitan dengan iklim belajar dan iklim mengajar yang menciptakan kompetisi dan gairah belajar siswa serta cukup baiknya daya dukung kota untuk memenuhi kebutuhan pelajar. Romi juga menuturkan bahwa sekarang ini Undiksha sedang menggeliat menata dan membangun gedung perkuliahan agar mampu melayani 11 ribu mahasiswanya.

Konsep Strategis
Apa yang ditulis Romi Suditha tidak lepas dari hangatnya diskusi-diskusi di kalangan terbatas di Singaraja tentang wacana menjadikan Singaraja sebagai kota Pendidikan. Mereka yang mempunyai minat tersebut bahkan sempat mengangkat tema ini dalam berbagai interaktif di Radio. Dan untuk sekarang ini kita menunggu ujung dari wacana ini, apakah akan berakhir seperti diskusi-diskusi sebelumnya, yaitu ketidak jelasan dalam implementasinya. Memang, wacana Singaraja menjadi kota pendidikan timbul tenggelam. Hampir berbagai pihak pernah membicarakannya, mulai dari pihak pemerintah kabupaten, legislator kabupaten, pendidik, pemerhati pendidikan dan masyarakat luas. Ada yang serius mendiskusikannya, namun ada juga yang sekedarnya. Motivasi dibalik keinginan menjadikan kota singaraja sebagai kota pendidikan nampaknya beragam, tergantung di pihak mana atau siapa yang menginginkannya. Ada sejumlah tokoh yang memang bernostalgia ke masa silam ketika Singaraja pernah mengungguli kota-kota lain di Bali dalam hal aktivitas pendidikan, saat ibukota belum dipindahkan dari Singaraja ke Denpasar. Kepeloporan Singaraja membangun sekolah-sekolah dimasa lalu sudah diakui banyak orang, bahkan sekolah-sekolah tersebut merupakan sekolah pertama di Bali.
Kedepan, dalam upaya merumuskan Singaraja sebagai kota pendidikan, hendaknya tidak semata-mata bertumpu pada nostalgia masa lalu, tetapi lebih banyak mengandung konsep strategis dalam menjawab pertanyaan : Mengapa Singaraja perlu dibangun sebagai sebuah kota pendidikan. Dengan landasan yang bersifat strategis, maka akan mendorong pengambil kebijakan berkomitmen, berketetapan, berkesinambungan dan fokus. Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah pembagian peran dan sinergitas berbagai pihak. Untuk itu diperlukan cetak biru yang menjangkau rentang waktu minimal 20 tahun. Hal ini menjadi penting untuk menghindari tumpang tindih perencanaan, saling menunggu dan inefisiensi dana ditengah banyaknya daftar prioritas yang harus diperhatikan pemerintah kabupaten. Barangkali inilah yang dimaksud oleh Romi perlunya sebuah payung hukum berupa Perda (Peraturan Daerah). Dengan adanya perda akan dapat menyatukan energi eksekutif dan legislatif dalam memperjuangkan konsep kota pendidikan sampai ke pusat. Selain itu, diperlukan keberanian untuk “memproklamirkan” diri sebagai kota pendidikan. Kalau sekarang ini, pernyataan diri sebagai kota pendidikan masih sebatas dengan baliho saja di beberapa sudut kota. Bagi penduduk atau pendatang yang kebetulan membaca baliho tersebut akan mengetahuinya, tetapi bagi yang tidak sempat membaca tentu tidak sadar bahwa dirinya sedang berada di sebuah kota pendidikan. Cobalah tiru Yogyakarta yang belum lama ini Sri Sultan Hamengku Buwono X langsung mendeklarasikan Yogyakarta sebagai “Kota Republik”. Dengan expose dan deklarasi tersebut akan membuat semua orang, termasuk yang tidak tinggal di Yogyakarta, mengetahui bahwa sekarang Yogyakarta memiliki atribut sebagai Kota Republik.

Gerbong Ekonomi
Salah satu alasan strategis mengapa Singaraja perlu didorong menjadi kota pendidikan adalah alasan ekonomi. Satu dari sekian banyak penggerak suatu kehidupan ekonomi adalah pergerakan penduduk, yaitu bertambahnya penduduk. Penduduk yang datang ke suatu wilayah sangat berpotensi menggerakkan roda ekonomi wilayah tersebut. Sebagai kota pendidikan, maka akan datang ribuan mahasiswa dan pelajar dari luar daerah. Mereka datang sebagai pelajar dan/atau mahasiswa, berusia muda, enerjik, dan sekaligus tentu saja membawa uang. Dan uang yang mereka bawa dari kota asalnya pasti dibelanjakan habis di kota tempat mereka belajar. Berbagai sektor riil ekonomi akan dengan mudah menggeliat, seperti gerbong kereta api yang bergerak bersama karena ditarik oleh sebuah lokomotif. Beberapa contoh antara lain : usaha rumah kost, warung makan, fotocopy, bengkel sepeda motor, gerai pulsa dan hp, warnet, toko buku-alat tulis, swalayan dan masih banyak lainnya. Seandainya 10.000 mahasiswa datang dari berbagai kota lain, itu berarti kota-kota tersebut berpartisipasi mendongkrak kota pendidikan (kota singaraja). Patut dicatat bahwa Kota Pendidikan sulit akan dilanda resesi/krisis ekonomi, karena pelajar/mahasiswa akan tetap mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya yang tinggal di kota lainnya.
Walaupun berbagai perhitungan diatas kertas tentang manfaat ekonomi yang akan dirasakan oleh suatu kota dan masyarakatnya cukup positip, namun tentu saja tidak serta merta akan mudah menarik pelajar/mahasiswa dari luar kota Singaraja untuk belajar di Singaraja. Disinilah partisipasi warga masyarakat Kota Singaraja menjadi penting. Tersedianya tempat-tempat pemondokan yang baik dan murah, keramah tamahan warga kota, tempat-tempat makan yang sehat dan murah, cukup memadai tempat-tempat rekreasi dan keamanan yang terjaga menjadi faktor-faktor penting. Dan yang tidak kalah penting adalah terjangkaunya biaya sekolah maupun biaya kuliah. Jika semua ini dapat dipertahankan maka kita sangat optimis Singaraja akan mudah menyebut diri sebagai Kota Pendidikan.

Mencegah Bencana Lebih Besar


Bali ternyata tidak steril dari bencana. Beberapa bencana sudah terjadi seperti tanah longsor, banjir bandang dan angin ribut. Korban akibat bencana tersebut malahan sudah berjatuhan. Di Desa Titab, Kecamatan Busungbiu, pada malam tahun baru, bencana banjir bandang dan air bah yang melewati Tukad Saba mengakibatkan korban meninggal 2 orang, yaitu Kadek Yudi Eka Setiawan (30 th) dan Ketut Sepiran (55), selain itu jembatan yang menghubungkan desa Titab dan kota kecamatan Busungbiu terputus, banyak hewan hanyut dan mati serta beberapa rumah terseret air bah tersebut. Untuk di Buleleng, sebelumnya juga sudah terjadi bencana tanah longsor di desa Ambengan, Kecamatan Sukasada. Tidak hanya di Buleleng, kejadian tanah longsor di Tabanan menyebabkan beberapa rumah tertimbun tanah, walaupun tidak ada korban jiwa. Dan bencana terakhir adalah di Karangasem, Kecamatan Seraya,Tukad Prit yang biasanya kering kerontang tiba-tiba mendapatkan kiriman air yang sangat besar dari hulunya. Korban meninggal juga tak dapat dihindarkan, bahkan 2 orang yang meninggal ini berusia muda, Ni Luh Putu Ayu (12) dan Nengah Wardana (14) masih kelas 1 smpn 3 Seraya. Duka mendalam sangat dirasakan oleh keluarga ke 2 korban tersebut. Masih di Karangasem, yaitu di desa Rendang dalam waktu bersamaan dengan bencana di Tukad Prit, juga terjadi bencana banjir di Tukad Arca dan menimbulkan korban nyawa bernama Sri Ningsih. Musibah angin ngelinus yang terjadi di Banjar, Tohpati, Bebandem Karangasem menyebabkan 3 rumah hancur. Denpasar pun tidak luput dari banjir.

Kerusakan Di Hulu
Nampaknya dari bencana tanah longsor dan banjir maupun angin ribut di Bali tersebut, sebagian diyakini sebagai akibat dari dampak pemanasan global, terutama yang berkaitan dengan munculnya angin ribut, hujan yang berkepanjangan sampai hari ini dan ombak besar. Dalam beberapa bulan ini suatu keadaan yang disebut dengan anomali cuaca dan iklim sedang berlangsung. Diberbagai belahan dunia lainnya seperti Australia dan China merasakannya. Namun sebagian lainnya seperti banjir dan tanah longsor tidak lain ulah masyarakat sendiri yang tidak memperhatikan kelestarian hutan di daerah hulu.
Banjir bandang tentunya merupakan kiriman air dalam jumlah banyak dari hulu secara tiba-tiba. Curah hujan yang tinggi dan terus menerus di hulu semestinya bisa diserap kedalam tanah bila masih banyak pohon-pohon besar di dataran yang lebih tinggi. Tetapi karena banyak terjadi penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat, maka pertahanan hutan terhadap gempuran hujan yang terus menerus itupun hancur. Banyak sebab mengapa masyarakat melakukan penebangan liar. Selain untuk memperoleh kayu, juga dimaksudkan untuk alih lahan menjadi pertanian bunga maupun daerah pemukiman. Hutan dibakar dan dijarah oleh masyarakat. Menurut catatan Dinas Kehutanan Bali, setiap tahun sekitar 500 Hektar hutan mengalami kerusakan akibat ulah manusia. Untuk Buleleng, daerah hulunya ada di sekitar danau Buyan dan Tamblingan. Generasi zaman dulu sebetulnya sudah membentengi wilayah itu dari kemungkinan jarahan manusia dengan menyatakan bahwa daerah tersebut adalah daerah yang disucikan dan dikeramatkan. Apalagi sumber air utama masyarakat Buleleng ada di daerah ini. Jadi hidup matinya masyarakat Buleleng tergantung dari seberapa mampu kita menjaga kelestarian daerah pegunungan Buyan dan Tamblingan.

Mengendalikan Investor
Selain prilaku masyarakat yang menghancurkan sendiri hutannya, dari sisi pemerintahpun tergoda untuk mengembangkan kawasan hutan. Ambisi pembangunan yang sudah mulai merambah hutan lindung sering tidak memperhitungkan dampaknya dikemudian hari. Sebagai contoh, beberapa kali pemerintah kabupaten Buleleng mencoba-coba untuk membangun Taman Wisata di Buyan ataupun jenis wisata lainnya. Syukurlah masih ada elemen-elemen masyarakat Bali yang gencar menolaknya, sehingga Gubernur dapat mencegah pengembangan di daerah Buyan-Tamblingan tersebut. Bila investor diijinkan menggarap daerah tersebut, bukan tidak mungkin akan terjadi penebangan pohon-pohon besar disana, karena umumnya kontrol dan pengawasan kita sangat lemah. Yang kita khawatirkan adalah tidak samanya kata dan perbuatan dari investor. Diawal saat lobby-lobby untuk meloloskan proyek, investor akan banyak mengumbar janji, misalkan berjanji memberikan kontribusi 10 persen untuk konservasi, pemberdayaan masyarakat disekitarnya, reboisasi dan pemeliharaan pura. Tetapi karena pengawasan lemah baik dari pemerintah maupun dari masyarakat, maka sering terjadi pelanggaran investor dalam bentuk penebangan liar pohon-pohon yang dilindungi. Karena Bali milik masyarakat Bali dan bukan milik investor, maka seyogyanya kita mampu mengendalikan kemauan investor.
Musibah banjir bandang yang mengalirkan air bah dalam volume besar baik yang terjadi sepanjang Tukad Saba, Tukad Pritt dan Tukad Arca menunjukkan bahwa daerah hulu sungai tersebut sudah gundul. Kondisi ini tentu membutuhkan perhatian yang besar dari pemerintah. Kondisi rawan juga terjadi sepanjang daerah aliran sungainya. Tidak ada lagi pohon-pohon disepanjang daerah aliran sungai tersebut yang berfungsi menahan longsor tanah disekitarnya. Keadaan ini sangat membahayakan rumah-rumah yang ada disepanjang pinggir sungai. Kondisi yang berbahaya ini sekali lagi sebetulnya diciptakan oleh manusia sendiri. Bentang aliran sungai tahun demi tahun cenderung menyempit, baik lebar sungai maupun kedalaman sungai. Akibatnya daya tampung sungai terhadap air yang dating dari hulu juga menurun.

Partisipasi Masyarakat
Lampu kuning sudah menyala, bahwa kualitas lingkungan di Bali sudah menurun. Sebelum bencana banjir yang lebih besar akan menimpa pulau Bali, maka pemerintah dan masyarakat harus segera turun tangan. Jangan menunggu sampai kejadian seperti di Wasior,Papua menimpa Bali. Di Wasior, bencana banjir dan longsor disana menimbulkan korban yang luar biasa, yaitu korban meninggal mencapai 150 Orang dan kerugian material sampai 300 milyar rupiah. Mendesak program-program yang peduli lingkungan seperti reboisasi hutan yang gundul, rehabilitasi dan revitalisasi sungai sungai di Bali dan penanganan sampah plastik. Gerakan masyarakat yang berkaitan dengan program lingkungan tersebut harus didorong dan ditumbuhkan didalam masyarakat. Masyarakat Bali memiliki budaya gotong royong yang kuat dengan sistem banjarnya. Misalkan, berikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mengawasi misalkan penyempitan lebar sungai. Jika penyempitan tersebut disebabkan oleh pembangunan rumah oleh oknum masyarakat, maka masyarakat sekitarnya yang perlu menegur. Soal pembuangan sampah ke sungai oleh masyarakat maupun bertumpuknya sampah plastik di sungai mesti dapat diselesaikan juga oleh masyarakat setempat.

Sabtu, 08 Januari 2011

Menafsirkan Ulang Kisah Lubdaka


Belum berselang lama ini, yaitu pada hari Senin 3 Januari 2011 yang baru lewat adalah hari yang disucikan oleh pemeluk Hindu. Hari tersebut dirayakan sebagai Hari Ciwaratri, dan malam harinya umat Hindu berdatangan ke Pura untuk bersama-sama melaksanakan persembahyangan, dharma tula dan sebagian akan melanjutkan “mekemit”/tidak tidur sampai pagi harinya. Bagi yang mampu melaksanakannya, 3 hal akan dilakukan selama hari Ciwaratri tersebut, yaitu : monabrata (menahan diri untuk tidak berbicara), upawasa (atau puasa, yaitu tidak makan) dan jagra (tidak tidur sampai pagi harinya).

Lubdaka Bermalam Di Hutan
Setiap Ciwaratri datang, pikiran kita otomatis melompat ke kisah Lubdaka, kisah tentang seorang pemburu binatang bernama Lubdaka yang harus bermalam di hutan karena “terpaksa”. Hari itu Lubdaka kurang beruntung, sejak pagi hingga sore dia samasekali belum mendapatkan binatang buruan. Terbayang dibenaknya, istri dan anak-anaknya tentu sangat mengharapkan hasil buruannya hari itu. Getir membayangkan hal tersebut, Lubdaka urung pulang ke rumah dengan tangan hampa. Diapun terus merangsek kedalam hutan, bertekad untuk memperoleh hasil. Tanpa disadarinya dia sudah semakin jauh berada ditengah hutan, sehingga dia harus bermalam. Takut dengan ancaman binatang buas, Lubdaka memilih naik ke pohon besar dan duduk disebuah dahan ranting yang cukup kuat menahan tubuhnya. Persis dibawah dahan tersebut ada kolam. Agar tidak mengantuk, Lubdaka memetik daun sehelai demi sehelai sampai matahari pagi terbit. Setiap helai daun yang dipetiknya itu dibuang kebawah dan jatuh di kolam.
Kira-kira demikian ringkas ceritra Lubdaka. Penulisnya disebut Mpu Tanakung. Siapakah Mpu Tanakung ? Tidak ada yang mengetahui riwayatnya. Ada yang menduga Tanakung dari “Tan Aku” yang kira-kira berarti bahwa penulis kisah Lubdaka ini tidak ingin menampilkan dirinya. Cerita lanjutannya, Lubdaka pagi harinya pulang dengan tangan hampa. Dikisahkan sejak saat itu Lubdaka berhenti menjalani profesi pemburu dan menjadi petani.
Tanpa setahu Lubdaka sendiri, malam dia menahan kantuk itu rupanya adalah malam Dewa Shiwa melakukan tapa yoga semadi. Karena Lubdaka ikut berjaga (tidak tidur) saat Dewa Shiwa melakukan tapa yoga semadi, dia mendapatkan reward dari Dewa Shiwa berupa peleburan dosa-dosanya. Itulah sebabnya malam Ciwaratri disebut juga malam peleburan atau pengampunan dosa.


Tafsir Yang Berbahaya
Tafsir atau pemaknaan tentang kisah Lubdaka tersebut sangat beragam. Dan hal tersebut wajar-wajar saja. Sejauh tafsir tersebut bisa membelokkan tingkah laku manusia ke arah yang positip, maka barangkali kita bisa anggap sebuah tafsir itu benar. Dan bila ada tafsir yang lain yang juga memberi pencerahan spiritual, maka tafsir itupun tidak perlu disalahkan. Bukankah tidak ada monopoli dalam menafsirkan sesuatu di zaman sekarang ini. Yang paling banyak dilakukan orang saat malam ciwaratri adalah tidak tidur sampai pagi. Ini seperti melakukan napak tilas dari apa yang telah dilakukan oleh Lubdaka, walaupun tidak persis 100 %. Jika napak tilasnya benar, maka orang harus bertahan tidak tidur diatas dahan ranting pohon, lalu membuang helai demi helai ranting pohon kebawah sampai pagi. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh umat Hindu sekarang ini, sebab berapa banyak pohon yang harus disediakan untuk ribuan umat Hindu yang melaksanakan “jagra” tersebut. Penulis menyaksikan beberapa sekolah di Buleleng, dari SD,SMP dan SMA/SMK melaksanakan persembahyangan bersama pada malam hari Ciwaratri dilanjutkan dengan melékan sampai pagi. Remaja maupun muda mudi memenuhi Pura Jagatnatha untuk begadang sampai pagi. Tidak ada yang salah bila mereka melakoni malam ciwaratri dan menghayatinya dengan cara seperti itu, bahkan barangkali mereka juga sudah dibekali oleh guru mereka bahwa malam itu adalah malam pengampunan dosa.
Benarkah bahwa bila malam Ciwaratri kita tidak tidur sampai pagi akan membuat dosa-dosa kita terlebur ? Bukankah ini semacam pembodohan ? Masuk akalkah dosa yang dilakukan selama 364 hari akan terhapus hanya dengan cara bagadang semalam pada malam Ciwaratri ? Betapa berbahayanya dunia ini jika keyakinan ini merasuk ke sanubari umat Hindu, sebab orang-orang akan leluasa berbuat jahat, toh pada akhirnya seluruh dosa yang dibuat melalui kejahatan akan bisa dilebur pada malam Ciwaratri. Dari sudut pandang ini, kita perlu memberikan tafsir ulang atas kisah Lubdaka tersebut. Hemat penulis, tidak mungkin Mpu Tanakung membuat kisah Lubdaka untuk mensimplifikasi masalah dosa dan pengampunannya.

Pengendalian Diri
Monabrata, Upawasa dan Jagra sesungguhnya 3 fondasi utama yang saling berkaitan untuk mencapai tingkat pengendalian diri yang baik. Ketiga hal tersebut sejatinya sangat sulit untuk dilakukan dalam kehidupan ini. Misalkan soal menahan diri untuk bicara seperlunya atau menahan diri untuk diam disaat diperlukan adalah pekerjaan mental yang amat sulit dilaksanakan. Contoh mutakhir, Mendagri Gamawan Fauzi dikritik karena dianggap terlalu banyak bicara dalam polemik RUUK Yogyakarta. Banyak yang berpendapat, bahwa dalam situasi emosional masyarakat Yogya Gamawan hendaknya bisa lebih mengendalikan diri dalam berbicara. Demikian pula soal Upawasa (tidak makan). Semua agama memiliki anjuran agar umatnya dapat berpuasa, karena puasa adalah latihan untuk mengendalikan diri. Penerapan Upawasa dalam kehidupan sehari hari akan menyelamatkan kehidupan kita. Misalkan orang yang menderita penyakit kencing manis, pengendalian nafsu makan sangat dipentingkan. Jika tidak, maka jangan heran kadar gula yang bersangkutan akan naik. Jagra atau tidak tidur semalaman adalah latihan untuk menahan kantuk. Kemampuan mengendalikan rasa kantuk akan sangat bermanfaat juga dalam kehidupan sehari hari. Mahasiswa atau pelajar yang akan menghadapi ujian harus mampu menahan kantuk karena harus belajar.Para supir juga harus bisa menahan kantuk, dan masih banyak lagi profesi yang membutuhkan kemampuan menahan kantuk. Jadi jika ketrampilan monabrata, upawasa dan jagra sudah dikuasai, maka yang bersangkutan akan lebih mudah mengendalikan dan menguasai dirinya, dan akhirnya akan terselamatkan dari kehidupan ini. Untuk menguasai seni monabrata, upawasa dan jagra tersebut tidaklah cukup bila hanya dilakukan sekali dalam setahun. Latihan harus dilakukan berulang-ulang, karena latihan yang berulang-ulang akan mengasah ketrampilan.
Lalu, kisah Lubdaka memetik daun (dikisahkan 108 helai) helai demi helai dan dibuang ke kolam yang ada dibawahnya untuk membuat dia tetap terjaga kira-kira memiliki makna apa ? Bagi penulis, hal tersebut bermakna bahwa kita perlu memberikan kontribusi /kepedulian kepada kehidupan ini agar kita tetap terjaga dalam menjalani kehidupan ini. Ada 108 jenis kontribusi/kepedulian yang dapat diberikan. Jadi, mari kita tafsirkan ulang kisah Lubdaka ini. (***)