Sabtu, 08 Januari 2011

Menafsirkan Ulang Kisah Lubdaka


Belum berselang lama ini, yaitu pada hari Senin 3 Januari 2011 yang baru lewat adalah hari yang disucikan oleh pemeluk Hindu. Hari tersebut dirayakan sebagai Hari Ciwaratri, dan malam harinya umat Hindu berdatangan ke Pura untuk bersama-sama melaksanakan persembahyangan, dharma tula dan sebagian akan melanjutkan “mekemit”/tidak tidur sampai pagi harinya. Bagi yang mampu melaksanakannya, 3 hal akan dilakukan selama hari Ciwaratri tersebut, yaitu : monabrata (menahan diri untuk tidak berbicara), upawasa (atau puasa, yaitu tidak makan) dan jagra (tidak tidur sampai pagi harinya).

Lubdaka Bermalam Di Hutan
Setiap Ciwaratri datang, pikiran kita otomatis melompat ke kisah Lubdaka, kisah tentang seorang pemburu binatang bernama Lubdaka yang harus bermalam di hutan karena “terpaksa”. Hari itu Lubdaka kurang beruntung, sejak pagi hingga sore dia samasekali belum mendapatkan binatang buruan. Terbayang dibenaknya, istri dan anak-anaknya tentu sangat mengharapkan hasil buruannya hari itu. Getir membayangkan hal tersebut, Lubdaka urung pulang ke rumah dengan tangan hampa. Diapun terus merangsek kedalam hutan, bertekad untuk memperoleh hasil. Tanpa disadarinya dia sudah semakin jauh berada ditengah hutan, sehingga dia harus bermalam. Takut dengan ancaman binatang buas, Lubdaka memilih naik ke pohon besar dan duduk disebuah dahan ranting yang cukup kuat menahan tubuhnya. Persis dibawah dahan tersebut ada kolam. Agar tidak mengantuk, Lubdaka memetik daun sehelai demi sehelai sampai matahari pagi terbit. Setiap helai daun yang dipetiknya itu dibuang kebawah dan jatuh di kolam.
Kira-kira demikian ringkas ceritra Lubdaka. Penulisnya disebut Mpu Tanakung. Siapakah Mpu Tanakung ? Tidak ada yang mengetahui riwayatnya. Ada yang menduga Tanakung dari “Tan Aku” yang kira-kira berarti bahwa penulis kisah Lubdaka ini tidak ingin menampilkan dirinya. Cerita lanjutannya, Lubdaka pagi harinya pulang dengan tangan hampa. Dikisahkan sejak saat itu Lubdaka berhenti menjalani profesi pemburu dan menjadi petani.
Tanpa setahu Lubdaka sendiri, malam dia menahan kantuk itu rupanya adalah malam Dewa Shiwa melakukan tapa yoga semadi. Karena Lubdaka ikut berjaga (tidak tidur) saat Dewa Shiwa melakukan tapa yoga semadi, dia mendapatkan reward dari Dewa Shiwa berupa peleburan dosa-dosanya. Itulah sebabnya malam Ciwaratri disebut juga malam peleburan atau pengampunan dosa.


Tafsir Yang Berbahaya
Tafsir atau pemaknaan tentang kisah Lubdaka tersebut sangat beragam. Dan hal tersebut wajar-wajar saja. Sejauh tafsir tersebut bisa membelokkan tingkah laku manusia ke arah yang positip, maka barangkali kita bisa anggap sebuah tafsir itu benar. Dan bila ada tafsir yang lain yang juga memberi pencerahan spiritual, maka tafsir itupun tidak perlu disalahkan. Bukankah tidak ada monopoli dalam menafsirkan sesuatu di zaman sekarang ini. Yang paling banyak dilakukan orang saat malam ciwaratri adalah tidak tidur sampai pagi. Ini seperti melakukan napak tilas dari apa yang telah dilakukan oleh Lubdaka, walaupun tidak persis 100 %. Jika napak tilasnya benar, maka orang harus bertahan tidak tidur diatas dahan ranting pohon, lalu membuang helai demi helai ranting pohon kebawah sampai pagi. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh umat Hindu sekarang ini, sebab berapa banyak pohon yang harus disediakan untuk ribuan umat Hindu yang melaksanakan “jagra” tersebut. Penulis menyaksikan beberapa sekolah di Buleleng, dari SD,SMP dan SMA/SMK melaksanakan persembahyangan bersama pada malam hari Ciwaratri dilanjutkan dengan melékan sampai pagi. Remaja maupun muda mudi memenuhi Pura Jagatnatha untuk begadang sampai pagi. Tidak ada yang salah bila mereka melakoni malam ciwaratri dan menghayatinya dengan cara seperti itu, bahkan barangkali mereka juga sudah dibekali oleh guru mereka bahwa malam itu adalah malam pengampunan dosa.
Benarkah bahwa bila malam Ciwaratri kita tidak tidur sampai pagi akan membuat dosa-dosa kita terlebur ? Bukankah ini semacam pembodohan ? Masuk akalkah dosa yang dilakukan selama 364 hari akan terhapus hanya dengan cara bagadang semalam pada malam Ciwaratri ? Betapa berbahayanya dunia ini jika keyakinan ini merasuk ke sanubari umat Hindu, sebab orang-orang akan leluasa berbuat jahat, toh pada akhirnya seluruh dosa yang dibuat melalui kejahatan akan bisa dilebur pada malam Ciwaratri. Dari sudut pandang ini, kita perlu memberikan tafsir ulang atas kisah Lubdaka tersebut. Hemat penulis, tidak mungkin Mpu Tanakung membuat kisah Lubdaka untuk mensimplifikasi masalah dosa dan pengampunannya.

Pengendalian Diri
Monabrata, Upawasa dan Jagra sesungguhnya 3 fondasi utama yang saling berkaitan untuk mencapai tingkat pengendalian diri yang baik. Ketiga hal tersebut sejatinya sangat sulit untuk dilakukan dalam kehidupan ini. Misalkan soal menahan diri untuk bicara seperlunya atau menahan diri untuk diam disaat diperlukan adalah pekerjaan mental yang amat sulit dilaksanakan. Contoh mutakhir, Mendagri Gamawan Fauzi dikritik karena dianggap terlalu banyak bicara dalam polemik RUUK Yogyakarta. Banyak yang berpendapat, bahwa dalam situasi emosional masyarakat Yogya Gamawan hendaknya bisa lebih mengendalikan diri dalam berbicara. Demikian pula soal Upawasa (tidak makan). Semua agama memiliki anjuran agar umatnya dapat berpuasa, karena puasa adalah latihan untuk mengendalikan diri. Penerapan Upawasa dalam kehidupan sehari hari akan menyelamatkan kehidupan kita. Misalkan orang yang menderita penyakit kencing manis, pengendalian nafsu makan sangat dipentingkan. Jika tidak, maka jangan heran kadar gula yang bersangkutan akan naik. Jagra atau tidak tidur semalaman adalah latihan untuk menahan kantuk. Kemampuan mengendalikan rasa kantuk akan sangat bermanfaat juga dalam kehidupan sehari hari. Mahasiswa atau pelajar yang akan menghadapi ujian harus mampu menahan kantuk karena harus belajar.Para supir juga harus bisa menahan kantuk, dan masih banyak lagi profesi yang membutuhkan kemampuan menahan kantuk. Jadi jika ketrampilan monabrata, upawasa dan jagra sudah dikuasai, maka yang bersangkutan akan lebih mudah mengendalikan dan menguasai dirinya, dan akhirnya akan terselamatkan dari kehidupan ini. Untuk menguasai seni monabrata, upawasa dan jagra tersebut tidaklah cukup bila hanya dilakukan sekali dalam setahun. Latihan harus dilakukan berulang-ulang, karena latihan yang berulang-ulang akan mengasah ketrampilan.
Lalu, kisah Lubdaka memetik daun (dikisahkan 108 helai) helai demi helai dan dibuang ke kolam yang ada dibawahnya untuk membuat dia tetap terjaga kira-kira memiliki makna apa ? Bagi penulis, hal tersebut bermakna bahwa kita perlu memberikan kontribusi /kepedulian kepada kehidupan ini agar kita tetap terjaga dalam menjalani kehidupan ini. Ada 108 jenis kontribusi/kepedulian yang dapat diberikan. Jadi, mari kita tafsirkan ulang kisah Lubdaka ini. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar