Minggu, 02 Januari 2011

MENYOAL PROGRAM KONVERSI MITAN KE GAS


Teror ledakan gas elpiji sungguh sangat mencekam kita sepanjang paruh pertama 2010 ini. Jumlah korban luka bakar maupun korban harta benda sudah terbilang sangat banyak. Berdasarkan data Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), pendataan dilakukan mulai 2008 - Juli 2010, ternyata sudah terjadi setidaknya 189 kali kasus ledakan dalam pemakaian tabung gas elpiji rumah tangga. Dan rinciannya, 2008 meliputi 61 kasus, kemudian 50 kasus pada 2009. Tapi meningkat tajam hingga pertengahan 2010 ini, menembus 78 kasus. Jumlah ini sangat memprihatinkan mengingat dalam setiap ledakan menimbulkan korban manusia dan harta benda.
Akibat seringnya terjadi ledakan gas elpiji ini, masyarakat mulai gentar untuk terus/berlanjut menggunakan gas di dapur mereka. Masyarakat ingin kembali kepada minyak tanah, walaupun harganya lebih mahal. Hal ini bisa jadi akan merupakan ancaman serius bagi program pemerintah yang digulirkan sejak tahun2007 silam, yaitu gerakan konversi dari minyak tanah (mitan) ke gas. Kala itu pemerintah sudah memprogramkan guna mengkonversi pemakaian sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kepada pemakaian 3,5 juta ton elpiji hingga tahun 2010 ini. Diharapkan melalui program ini pemerintah dapat menghemat anggaran subsidi sebanyak kurang lebih 30 trilliun rupiah. Di sisi masyarakat, pemerintah mengklaim bahwa dengan program ini masyarakat akan merasakan pula efisiensi dan penghematan. Karena dikatakan bahwa pemakaian minyak tanah 1 liter sama dengan 0,4 kg gas elpiji. Maka dengan 3 kg gas elpiji seharga Rp 12.750 akan setara dengan minyak tanah 7 liter seharga Rp 17.500. Jadi dengan pemakaian 3 kg gas elpiji, masyarakat diharapkan akan menghemat lebih kurang Rp 4.750. Puja-puji terhadap program inipun berlanjut, yaitu pemakaian elpiji untuk rumah tangga lebih praktis, efisien, lebih bersih, dan lebih menyenangkan. Upaya mendorong masyarakat, khususnya lapisan menengah bawah untuk memakai elpiji dapat juga dilihat sebagai upaya meningkatkan mutu kehidupan masyarakat. Masyarakat yang bisa menikmati jenis energi yang bersih ini tentu tidak hanya mereka dari kelompok menengah atas, tetapi juga kelompok menengah kebawah.
Tetapi, segala efisiensi dan puja puji maupun promosi pemerintah tersebut akan sirna tanpa bekas tertiup oleh ketakutan masyarakat. Jika pemerintah tidak responsif serta sensitif terhadap suasana kebatinan masyarakat ini, bukan mustahil ledakan-ledakan beruntun yang telah terjadi tersebut akan sangat mempengaruhi strategi nasional penggunaan gas, dan target penghematan 30 trilliun itu tidak tercapai. Langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah misalkan membenahi kelemahan-kelemahan yang masih ada dalam program konversi minyak tanah ke gas tersebut, termasuk juga memperhatikan dan menyantuni para korban.
Kajian yang dilakukan oleh berbagai kalangan terhadap ledakan gas elpiji ini menunjuk kepada beberapa kelemahan. Pertama adalah, pemerintah kurang intensif memberikan sosialisasi, terkesan asal-asalan dengan materi sosialisasi yang tidak lengkap. Hal penting pertama yang harus dilakukan pemerintah ialah merubah paradigma berfikir masyarakat, yang semula biasa menggunakan kompor minyak tanah menjadikan mereka paham tentang manfaat serta cara mengoperasikan kompor gas. Masyarakat juga wajib diberitahu bahaya yang mungkin timbul jika tidak melaksanakan dengan tepat cara mengoperasikan kompor gas. Perilaku gas sangat berbeda dengan perilaku minyak tanah, sehingga menghandle gas akan berbeda dengan minyak tanah. Misalkan, bahan bakar gas adalah gas, yang memiliki sifat mengisi seluruh ruang dimana dia berada, berbeda dengan minyak tanah yang ditampung di dalam sebuah wadah dan bisa diisolasi ditempat tertentu, walaupun didekatnya ada sumber api. Bahan bakar gas memang diisolasi didalam sebuah tabung, namun bila tabung tersebut bocor, maka gas yang keluar dari tabung akan segera memenuhi ruang disekitarnya. Untuk mengurangi konsentrasi gas dalam sebuah ruangan, maka ruangan tersebut perlu memiliki sirkulasi udara yang baik, tidak sempit dan lain sebagainya. Sifat gas ini menyebabkan syarat dapur berbeda bila menggunakan gas. Tapi kenyataannya, hampir kita tidak pernah melakukan perubahan dapur walaupun kita sudah beralih ke gas.
Kedua, banyaknya perangkat sistem elpiji 3 kg tidak memenuhi syarat mutu Standar Nasional Indonesia (SNI). Terlihat dari temuan Badan Standar Nasional (BSN) ketika melakukan survei di lima provinsi pada 2008, yang menemukan tidak terpenuhinya syarat mutu itu pada komponen-komponen selang (100 persen), katup tabung (66 persen), kompor gas (50 persen), regulator (20 persen), dan tabung (7 persen). Tiga titik rawan sebagai tempat gas bocor malahan diperparah dengan kondisi komponen-komponen tersebut. Yaitu sambungan antara katup tabung gas dengan regulator, sambungan antara regulator dan selang gas. Dan, sambungan antara selang gas dan kompornya. Diantara 3 titik rawan tersebut , di sambungan antara katup tabung dan regulator yang paling sering terjadi kebocoran. Tidak bisa dipungkiri, titik lemah dari katup tersebut ada di karet cincin penyekat (berbentuk gelang, dan biasa disebut karet Seal) yang dipasang didalam katup. Sekalipun harga karet Seal tersebut sangat murah, namun dia mengemban tugas yang berat serta vital, yaitu menahan tekanan gas dari dalam tabung sampai sebesar 7 atmosfir. Tekanan ini cukup besar, kira-kira sama dengan tekanan kompressor tambal ban di pinggir jalan. Saat pengguna menukarkan tabung gas yang sudah kosong (baik tabung 3 kg atau tabung 12 kg) dengan tabung gas yang penuh isinya, kemudian memasang regulatornya ke tabung gas yang baru tersebut , sering didapati timbul bunyi mendesis yang menandakan adanya kebocoran gas. Karena pemakaian berkali-kali buka-tutup regulator menyebabkan karet Seal tersebut kehilangan daya lenturnya, sehingga tidak lagi mampu menahan tekanan sebesar itu. Kemudian gas bocor, keluar dari tabung melalui katup tabung. Pengguna sering mengganti sendiri karet Seal pada katup tersebut. Biasanya karet Seal yang dipakai merupakan karet Seal bekas sebelumnya. Semestinya tempat pengisian ulang tabung gas yang mengecek sekaligus mengganti karet Seal yang sudah tidak layak pakai.
Ketiga, disparitas harga antara tabung 3 kg dengan tabung 12 kg. Harga keekonomian elpiji saat ini seharusnya Rp 7.680 per kilogram. Tetapi Pertamina harus menjual elpiji 12 kg dengan Rp 5.850 dan 3 kg dengan Rp 4.750 per kilogram. Selisih harga keekonomian mencapai Rp 1.100 per kg. Hal ini memicu praktek penyuntikan elpiji oleh para pengoplos. Mereka menyedot isi tabung 3 kg untuk dimasukkan ke tabung 12 kg. Bahkan ditenggarai, nafsu pengoplos yang ingin untung banyak tersebut, hanya memindahkan isi dari 3 tabung gas 3 kg ke tabung gas 12 kg. Jadi tabung gas 12 kg hanya diisi 9 kg. Akibat kerja tangan mereka tersebut menjadi salah satu sebab kerusakan karet seal yang ada pada katup tabung 3 kg, sebab para pengoplos itu menyuntik paksa katup tabung 3 kg untuk mengeluarkan gas yang ada didalamnya.
Beberapa kelemahan yang telah diuraikan diatas hendaknya menjadi perhatian pemerintah, sebab jika tidak, maka program konversi mitan ke gas berpotensi mengalami kegagalan. Dan teror ledakan gas elpiji pun akan terus menghantui kita semua dengan korban yang terus berjatuhan. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar