Rabu, 23 Maret 2011

Masyarakat Indonesia Tidak Siap Memiliki PLTN

Pembangkit Listrik bertenaga nuklir (PLTN) kini sedang menjalani nasibnya yang paling buruk. Sebabnya tidak lain, ledakan 4 reaktor nuklir di PLTN Fukushima , Jepang, menyusul gempa dan tsunami yang mengguncang Negara tersebut. Ledakan reaktor nuklir tersebut menghamburkan radiasi ke segala arah, dan menimbulkan kepanikan di seluruh dunia. Beberapa Negara maju yang memiliki PLTN telah mengambil sikap untuk mengevaluasi keberadaan PLTN mereka. Parlemen Amerika Serikat meminta pemerintahnya menghentikan penggunaan nuklir lagi untuk pembangkitan listrik. Jerman akan menghentikan pengoperasian PLTN nya selama 3 bulan sambil melakukan evaluasi menyeluruh. Perancis pun demikian, dan menyatakan ledakan reactor nuklir di Fukushima sebagai sangat serius. Sebagaimana diketahui, bahwa PLTN memiliki beberapa tipe/jenis. Dan PLTN yang beroperasi sekarang kebanyakan PLTN dari tipe lama yang tingkat pengamanannya masih belum sempurna. Sebagai contoh adalah PLTN di Fukushima tersebut adalah dari tipe BWR (Boiling Water Reactor/Reaktor Air Didih). Tipe reaktor ini merupakan PLTN generasi ke-2 yang pengoperasiannya dimulai tahun 1971. Wajar tipe PLTN ini masih beroperasi mengingat usia PLTN dirancang 50 tahun. Sesungguhnya perkembangan teknologi PLTN cukup pesat. Kini sudah dikembangkan PLTN generasi ke- 4, sebuah rancangan memiliki tingkat keamanan dan keselamatan yang dibuat secara alamiah melekat (inherent) dan semakin tidak bergantung pada operator atau alat aktif (passive safety).
Jepang Panik
Tetapi kondisi psikologis masyarakat sudah sedemikian takut dengan kejadian meledaknya PLTN Fukushima ini. Dampak beruntun telah terjadi, beberapa makanan sudah tercemari radiasi. Dideteksi Susu dan Bayam terkontaminasi radiasi pada tingkat yang tidak wajar. Taiwan bahkan menemukan makanan impor dari Jepang, yaitu setumpuk kacang fava terkontaminasi radiasi. Sebelumnya , telah dilakukan evakuasi besar-besaran penduduk Fukushima dalam radius 20 km sebanyak 170.000 orang. Pekerjaan ini tentu bukan pekerjaan yang ringan, selain membutuhkan biaya amat besar. Pemerintahan Jepang sudah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan meredam radiasi yang lebih besar. Bahkan, Negara yang memiliki semangat bushido dan harakiri itu masih belum bisa menjinakkan keliaran radiasi bahan bakar Uranium tersebut. Berbagai cara telah dilakukan untuk mendinginkan batang-batang berbahan radioktif untuk mencegah bahan radioaktif terlepas ke udara. Seorang ahli nuklir Inggris, Andrew Sherry mengatakan : “Saat ini pemerintah Jepang bingung dalam mengatasi sejumlah ledakan di PLTN Fukushima. Keputusan memompakan air melalui helicopter merupakan bukti dari kebingungan dalam mengambil keputusan.” Sekarang telah dilaporkan, nahwa tingkat radiasi di area Fukushima sudah mencapai tingkat 6 mendekati skala 7 yang menimpa Chernobyl 25 tahun lalu.
Bencana Fukushima dan Chernobyl dipisahkan oleh jarak waktu 25 tahun, namun manusia ternyata tetap tidak siap menyikapi ledakan PLTN. Bahkan , bencana nuklir yang kali ini terjadi di negara Jepang tetap membuat panik masyarakat Jepang. Padahal kita tahu, masyarakat Jepang pernah merasakan bencana nuklir saat bom nuklir dijatuhkan Amerika di 2 kota Jepang , Nagasaki dan Hiroshima. Secara mental mestinya bangsa Jepang paling siap menghadapi bencana nuklir kali ini. Apalagi sekarang ini terdapat 53 PLTN yang beroperasi di Jepang, yang menyumbang lebih dari 28 % kebutuhan listrik Jepang. Negara ini merupakan negara ke 3 di dunia yang memiliki PLTN terbanyak setelah Amerika dan Perancis. Bangsa Jepang juga merupakan bangsa yang sangat disiplin. Selama bencana ini dapat disaksikan betapa tertibnya masyarakat Jepang dalam antri bahan bakar, tidak ada penjaraahan, sikap saling menolong yang sangat besar, serta pengorbanan setiap individu untuk menyelematkan orang lain tinggi sekali.
Indonesia Tidak Siap
Sebuah kepahlawanan ditunjukkan oleh 50 orang karyawan Tepco,pengelola PLTN Fukushima, yang sampai sekarang masih bekerja untuk mendinginkan reaktor nuklir Fukushima yang meledak tersebut. Ke 50 orang tersebut tidak peduli dengan dirinya sendiri, karena ingin menyelamatkan ribuan manusia lainnya agar tidak tercemar radiasi nuklir. Mereka seakan telah menandatangani kontrak mati. Dunia menyebut mereka "Fukushima 50" , dan pengorbanan mereka dinilai sungguh di luar nalar manusia. Bayangkan, saat banyak orang memilih pergi sejauh mungkin dari kawasan nuklir tersebut, mereka justru berada sangat dekat dengan tempat berbahaya itu. Sudah lima belas orang mati akibat ledakan reaktor nuklir di PLTN Fukushima. Belum lagi, kita tahu bahwa efek radiasi sangat mematikan, seperti kemandulan dan kanker, tapi, itu tidak menggentarkan Fukushima 50 untuk mendedikasikan apa yang mereka miliki bagi keselamatan dunia.
Sulit kita bayangkan, bila Indonesia punya PLTN dan kemudian PLTN tersebut mengalami musibah seperti di Fukushima. Indonesia sangat jelas belum memiliki perangkat birokrasi yang sigap menangani bencana. Kita juga belum memiliki biaya yang cukup untuk mengevakuasi sejumlah besar warga. Bangsa Indonesia masih lemah dalam pengetahuan dan teknologi nuklir guna menghentikan bencana tersebut. Musibah lumpur Lapindo Sidoardjo mungkin menjadi contoh baik tentang bagaimana buruknya penanganan pemerintah dalam bencana tersebut. Sudah bertahun-tahun musibah Lapindo belum terselesaikan. Kita benar-benar sangat pesimis dengan cara-cara kita menangani setiap bencana. Karena itulah, marilah kita berfikir ulang seribu kali bila ingin membangun PLTN.

Jumat, 18 Maret 2011

Layakkah PLTN Di Indonesia ?


Gempa dahsyat berkekuatan 8,9 skala richter yang mengguncang Jepang hari Jumat lalu (11 Maret 2011), disusul dengan tsunami telah membuat Negara Sakura tersebut berada dalam krisis yang dalam. Berbagai fasilitas hancur mulai dari kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan pertanian, pelabuhan , bandara sampai ke Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Korban jiwa sementara ini sudah diperkirakan mencapai lebih dari 10.000 orang dan puluhan ribu lainnya masih dinyatakan hilang. PM Jepang, Naoto Kan mengakui bencana yang dihadapi Jepang kali ini adalah bencana paling buruk sejak berakhirnya Perang Dunia II. Para pemimpin dunia lainnya juga mengakui, bahwa bencana Jepang ini akan berdampak pula kepada negara-negara lain. Hal ini tidak dapat dihindari mengingat Jepang adalah negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ke 3 di dunia setelah Amerika Serikat dan RRC. Keterkaitan ekonomi Jepang dengan seluruh negara di dunia akan menyebabkan situasi ekonomi global akan terpengaruh.

Energi Nuklir

Selain masalah ekonomi, dunia akan menghadapi masalah baru sebagai akibat bencana ini. Masalah tersebut adalah masalah energi nuklir. Kekhawatiran masyarakat dunia kembali menyeruak terhadap keamanan pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkitan listrik. Ini dipicu oleh meledaknya dua reactor nuklir pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Jepang yang berlokasi di Fukushima. Radiasi nuklirpun tidak dapat dihindarkan memancar dari reaktor tersebut. Dikhabarkan sudah sebanyak 22 Orang pekerja disana yang kena radiasi nuklir. Bahkan sebanyak 190 penduduk yang tinggal dalam radius 10 km dari pusat radiasi itu sudah terpapar radiasi. Kepanikan kini melanda Jepang sebagai akibat potensi ancaman radiasi nuklir yang meluas. Hembusan angina akan berkontribusi menyebarkan maut radiasi. Badan Energi Atom International (IAEA) menyebutkan bahwa pemerintah Jepang telah mengevakuasi 210 ribu penduduk yang tinggal dalam radius 20 km sekitar reactor nuklir Fukushima.
Kepanikan melanda Tokyo karena jarak Tokyo dengan reactor nuklir yang meledak tersebut hanya sekitar 120 km. Hembusan angin akan membawa radiasi tersebut memasuki Tokyo. Beberapa expatriate (tenaga asing) berbondong-bondong meninggalkan Tokyo. Dan banyak negara telah melarang warganya terbang ke Tokyo. Radiasi nuklir ini bahkan telah terdetekksi pada jarak 96 km dari pusat reaktor oleh sebuah helicopter, sebagaimana dilaporkan Pentagon.
Kejadian di Jepang ini tentu akan menghidupkan kembali diskusi pro-kontra pembangunan PLTN di berbagai Negara termasuk di Indonesia. Perdebatan tentang perlukah Indonesia memiliki PLTN memang sudah sangat lama dan cenderung timbul tenggelam. Yang pro PLTN Indonesia cukup banyak karena memang PLTN memiliki beberapa keunggulan mencolok. Tetapi yang kontra pun tidak kalah banyaknya karena resiko PLTN sangat besar. Di tengah derasnya penolakan PLTN, bahkan sejak tahun 1975, BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) telah menetapkan Semenanjung Muria di Jawa Tengah sebagai lokasi PLTN pertama di Indonesia. Lokasi ini dianggap aman untuk PLTN karena jauh dari ancaman gempa maupun bencana alam. Namun kontra yang sangat kuat menyebabkan pembangunan PLTN di lokasi ini mengalami kegagalan. Kita ketahui Gus Dur, Presiden RI yang ke 4, jelas-jelas menentang rencana PLTN di Gunung Muria dan meminta agar PLTN ditempatkan pada suatu pulau yang terpisah. Almarhum Gus Dur memberi jalan tengah dengan mengusulkan Pulau Karimunjawa sebagai lokasi yang lebih layak untuk PLTN bila Indonesia ingin membangunnya. Alasannya, Pulau Karimunjawa terpisah dari Pulau Jawa, sehingga bila terjadi kebocoran radioaktif akan segera bisa diisolasi disana dan dampaknya pada penduduk yang padat di Jawa dapat dihindari. Bila pemerintah tetap ngotot menempatkan PLTN di Semenanjung Muria, ketika itu Gus Dur secara terbuka mengatakan akan mogok makan di Muria. Barangkali ciut dengan gertakan tersebut, BATAN mencari lokasi lain. Kini BATAN menoleh ke Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Berbagai persiapan dimulai oleh BATAN mewujudkan PLTN pertama di Indonesia. Menurut Kepala BATAN, Hudi Hastowo, selama 3 tahun kedepan (2011-2013) dialokasikan Rp. 159 milliar untuk studi kelayakan PLTN. Ambisi besar sedang dicanangkan, yaitu PLTN Babel akan berkapasitas 18.000 MW untuk melayani kebutuhan listrik seluruh Sumatra dan Jawa. Pemprov Babel pun sudah menyiapkan lahan 1.500 hektar.

Rawan Bencana

Tapi sekarang dengan situasi yang terjadi di Jepang, sebuah pertanyaan penting patut dikaji : Layakkah Indonesia memiliki PLTN ? Kepulauan Indonesia memiliki karakteristik yang mirip dengan Kepulauan Jepang, yaitu wilayah yang rawan bencana alam. Hal ini sudah terbukti dalam tahun-tahun terakhir. Berbagai bencana alam menimpa Indonesia seperti gempa disertai tsunami, gunung Merapi meletus dan bersamaan dengan itu banyak gunung berapi masih aktif. Pusat gempa ada dibanyak titik di Indonesia. Deretan gunung berapi yang berbaris dari Sumatera , Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa sampai ke Kepulauan Maluku merupakan cincin api (ring of fire). Sejauh ini ilmu pengetahuan belum mampu memprediksi kejadian gempa. Jepang sebagai negara dengan kemajuan teknologi yang tinggipun tetap saja kecolongan . Kapan terjadinya gempa nampaknya masih menjadi domain Tuhan.
Keraguan kita untuk meluluskan PLTN di Indonesia juga berdasarkan lemahnya disiplin bangsa Indonesia. Padahal PLTN menuntut penerapan disiplin yang tinggi. Security first menjadi jargon yang tidak bisa ditawar. Kita menyaksikan bangsa Jepang yang sangat disiplinpun dan dengan kepakaran pengetahuan mereka dibidang Nuklir tetap saja masih terjadi kepanikan.
Dan terakhir, bila terjadi bencana berupa meledaknya PLTN seperti di Chernobyl Rusia, Three Mile Island AS dan Fukushima Jepang, maka dampaknya luar biasa. Ratusan ribu orang akan menjadi korban radiasi. Tidak hanya manusia, tetapi juga binatang dan tumbuh-tumbuhanpun akan kena radiasi. Recoverynya akan membutuhkan waktu panjang.
Jadi, kita perlu mengevaluasi rencana PLTN di Indonesia.