Rabu, 26 Januari 2011

Minyak PLTGU Pemaron Cemari Laut Bali Utara







‎8 Tahun lalu, LSM LP3B Buleleng bersama-sama dengan PHRI Buleleng, ,asyarakat nelayan, kelompok snorkeling, pemerhati pariwisata buleleng melakukan penolakan keras terhadap rencana pembangunan PLTGU (berbahan bakar minyak) di desa Pemaron, dekat kawasan wisata Lovina, Buleleng. Namanya saja PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), tetapi tipe ini adalah tipe lama yang sudah uzur dan sdh 27 tahun beroperasi di Tanjung Priok, dipindahkan ke Buleleng. Tipe PLTGU lama belum menggunakan gas sebagai bahan bakar, melainkan memakai minyak HSD yang divaporized menjadi gas.

Kekhawatiran para penentang adalah bila terjadi kebocoran pada suplai minyak di laut. Kekhawatiran tersebut kini menjadi kenyataan. Ada keretakan pada saluran pipa minyak shg bocorlah minyak tersebut, dan fotonya dapat dilihat sekarang. Siapa yang harus bertanggung jawab ?

Selasa, 25 Januari 2011

Ketika Prabu Yudistira Berbohong

Salah satu episode dalam cerita pewayangan yang amat menarik adalah kisah tentang Aswatama. Dia seorang ksatria dan putra kesayangan Bagawan Drona. Sang Bagawan, sebagaimana kita simak dari cerita Mahabharata, merupakan Mahaguru dari para ksatria Pandawa dan Korawa ketika mereka masih kecil. Aswatama pun mengenyam ilmu militer bersama dengan mereka. Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah. Perang saudara keluarga Bharata di lapangan Kuru (Kurusetra) membuat Pandawa berhadapan dengan Korawa. Aswatama memihak kepada Korawa, sama dengan ayahnya. Dipihak Pandawa hanya ada Sang Kresna, yang dalam perang besar ini menempatkan diri sebagai saisnya Arjuna.

Kebohongan Publik Pandawa
Kekuatan Korawa pada Bagawan Drona, sedangkan tokoh pengatur strategi ulung dipihak Pandawa adalah Sang Kresna. Hanya Kresna yang bisa membaca, bahwa untuk melumpuhkan Korawa haruslah Bagawan Drona dihabisi dulu. Maka Kresna pun mengatur siasat. Pandawa diminta membuat “kebohongan publik”. Strategipun dimulai, Bima disuruh menyebarkan khabar bahwa Aswatama telah terbunuh, walaupun sebenarnya yang dibunuh oleh Bima adalah seekor gajah bernama “Hestitama”. Kakak Kandung Bima yaitu Prabu Yudistira juga disuruh berbohong bila Bagawan Drona menanyakan perihal berita kematian Aswatama. Padahal Yudistira merupakan ksatria Pandawa yang amat jujur dan berbudi pekerti paling luhur. Seumur-umur dia tidak pernah berbohong. Jangankan berbohong, menyakiti binatangpun dia emoh. Tutur katanya santun, dan amat penyabar. Karakternya berbeda 180 derajat dengan Bima. Diseluruh jagat Kerajaan Astina Raya, Yudistira merupakan ksatria yang amat dikagumi dan sangat dipercaya. Namun demi memenangkan suatu peperangan, berbohong “terpaksa” dihalalkan. Kresna tahu bahwa Bagawan Drona pasti akan bertanya kepada Yudistira tentang khabar yang disebarkan oleh Bima tersebut. Dan memang demikian, begitu Bagawan Drona mendengar khabar tentang “kematian” Aswatama, anak kesayangannya, seluruh sendi Bagawan Drona menjadi lemas, kesaktiannya seakan lenyap. Dia lantas ingin memastikan khabar tersebut benar atau salah dengan bertanya kepada ksatria yang dia anggap “tidak mungkin” berbohong, yaitu Yudistira. Sang Ksatria, sesuai dengan permintaan Kresna, hanya menganggukkan kepala ketika mantan guru besarnya , Bagawan Drona, bertanya. Dan anggukan kepala Yudistira dibaca oleh Bagawan Drona sebagai kebenaran berita kematian Aswatama. Akibatnya fatal, Bagawan Drona akhirnya dengan mudah dapat dibunuh oleh Drestadyumena.
Kematian Bagawan Drona karena ulah “kebohongan publik” Pandawa menyulut kemarahan sang Putra, Aswatama. Setelah perang usai, dia menuntaskan dendamnya dengan menyusup masuk saat tengah malam ke perkemahan Pandawa untuk membunuh kelima ksatria Pandawa. Namun dia gagal, dan yang berhasil dibunuh adalah 5 orang putera dari Pandawa, Dewi Drupadi dan Dewi Srikandi.


Motif Berbohong
Ketika seseorang harus berbohong tentu ada motifnya, apalagi seorang ksatria seperti Yudistira. Apa yang terjadi dalam perang Bharatayuda jika Prabu Yudistira tidak berbohong ? Sangat mungkin pemenang Bharatayuda bukan lagi Pandawa melainkan Korawa. Maka seorang Yudistira barangkali sangat sadar akan manfaat kebohongannya, jelas motifnya adalah demi kebaikan, demi memenangkan peperangan melawan Korawa. Dengan begitu, bukankah itu berarti berbohong tidak selalu jelek atau berkonotasi negatif ? Bayangkan pula dalam sebuah keluarga yang suaminya melakukan selingkuh, tentu tanpa sepengetahuan istrinya. Ketika istrinya mencium gelagat selingkuh suaminya lalu sang istri bertanya kepada sang suami, maka sangat mungkin sang suami akan berbohong. Bila saja dia tidak berbohong atau mengatakan sejujurnya bahwa dirinya selingkuh, dapat dibayangkan akan terjadi huru hara dalam rumah tangganya. Jadi, sang suami berbohong demi menyelamatkan nasib perkawinannya. Contoh lain, seorang dokter yang telah mengetahui pasiennya hidup tidak lama lagi, tentu saja dia tidak serta merta harus mengatakan jujur kepada pasiennya. Dalam batas-batas tertentu, seorang dokter diijinkan berbohong untuk meminimalkan perasaan “shock” pasiennya. Maka sang dokter terpaksa berbohong demi ketentraman perasaan pasiennya. Banyak contoh perbuatan berbohong yang memiliki motif baik. Tetapi pada umumnya masyarakat menilai perbuatan berbohong adalah perbuatan yang tidak terpuji. Berbohong dan karakter jelek selalu dianggap bergandengan.
Barangkali karena itulah timbul reaksi keras dari pemerintahan SBY ketika baru-baru ini para tokoh lintas agama menyatakan pemerintahan SBY berbohong. Melalui Menko Ekuin Hatta Rajasa dan Menko Polhukam Djoko Suyanto, pemerintahan SBY tidak terima disebut berbohong. Dan tidak tanggung-tanggung, para tokoh lintas agama mencatat 18 kebohongan yang terdiri dari 9 kebohongan lama dan 9 kebohongan baru. Inilah kritik paling keras selama SBY menjadi Presiden. Tudingan ini mempunyai bobot tersendiri mengingat yang melemparkan ke publik adalah para tokoh agama.

Setgab Bukan Kresna
Mengapa para tokoh agama tersebut bersuara keras ? Mengapa harus menggunakan kata “berbohong” dan bukan kata “gagal” ? Menurut salah seorang staf khusus Presiden, Daniel Sparingga, bahwa jika para tokoh lintas agama menggunakan kata “gagal” atau “ingkar janji” mungkin masih bisa diterima oleh pemerintah. Maka sungguh terkesan dalam pernyataan para tokoh agama tersebut ada semacam frustasi sosial yang menumpuk melihat antara kenyataan dan apa yang diklaim oleh pemerintah.
Sekarang ada gerakan di facebook untuk mendukung para tokoh lintas agama tersebut. Situasi nampaknya akan semakin sulit ketika dukungan masyarakat kepada tokoh lintas agama semakin kuat. Presiden nampaknya harus sendirian berhadapan dengan kritik tokoh agama tersebut. Setgab mungkin tidak bisa diandalkan, dan pada akhirnya barangkali Presiden akan sadar bahwa kalkulasi politik dengan cara membangun koalisi partai hampir sia-sia bila program pemerintah tidak pro Rakyat.
SBY tidak perlu meniru Prabu Yudistira, yang menyembunyikan fakta untuk sebuah kemenangan. Ketika Prabu Yudistira berbohong landasan filosofi berfikirnya berbeda. Prabu Yudistira memiliki Kresna yang arif dan bijaksana, sementara SBY hanya memiliki Setgab.(***)

Minggu, 16 Januari 2011

Mewacanakan Singaraja Kota Pendidikan


Di harian Bali Express, pada hari Selasa 11 Januari 2011 yang lalu, Romi Sudhita, menulis tentang Kota Singaraja yang berpotensi jadi Kota Pendidikan. Dalam tulisannya, Romi berpendapat bahwa Singaraja memang cukup layak untuk menjadi sebuah kota pendidikan di Bali, mengingat selain beragam sekolah ada di Singaraja, juga prestasi siswa-siswa dari sekolah-sekolah di Singaraja sangat mumpuni sampai ke tingkat nasional. Ada beberapa contoh yang telah disebutkan, walaupun sesungguhnya, sebagaimana penulis ketahui, masih panjang daftar prestasi yang berhasil diraih para pelajar Buleleng. Prestasi tentu banyak berkaitan dengan iklim belajar dan iklim mengajar yang menciptakan kompetisi dan gairah belajar siswa serta cukup baiknya daya dukung kota untuk memenuhi kebutuhan pelajar. Romi juga menuturkan bahwa sekarang ini Undiksha sedang menggeliat menata dan membangun gedung perkuliahan agar mampu melayani 11 ribu mahasiswanya.

Konsep Strategis
Apa yang ditulis Romi Suditha tidak lepas dari hangatnya diskusi-diskusi di kalangan terbatas di Singaraja tentang wacana menjadikan Singaraja sebagai kota Pendidikan. Mereka yang mempunyai minat tersebut bahkan sempat mengangkat tema ini dalam berbagai interaktif di Radio. Dan untuk sekarang ini kita menunggu ujung dari wacana ini, apakah akan berakhir seperti diskusi-diskusi sebelumnya, yaitu ketidak jelasan dalam implementasinya. Memang, wacana Singaraja menjadi kota pendidikan timbul tenggelam. Hampir berbagai pihak pernah membicarakannya, mulai dari pihak pemerintah kabupaten, legislator kabupaten, pendidik, pemerhati pendidikan dan masyarakat luas. Ada yang serius mendiskusikannya, namun ada juga yang sekedarnya. Motivasi dibalik keinginan menjadikan kota singaraja sebagai kota pendidikan nampaknya beragam, tergantung di pihak mana atau siapa yang menginginkannya. Ada sejumlah tokoh yang memang bernostalgia ke masa silam ketika Singaraja pernah mengungguli kota-kota lain di Bali dalam hal aktivitas pendidikan, saat ibukota belum dipindahkan dari Singaraja ke Denpasar. Kepeloporan Singaraja membangun sekolah-sekolah dimasa lalu sudah diakui banyak orang, bahkan sekolah-sekolah tersebut merupakan sekolah pertama di Bali.
Kedepan, dalam upaya merumuskan Singaraja sebagai kota pendidikan, hendaknya tidak semata-mata bertumpu pada nostalgia masa lalu, tetapi lebih banyak mengandung konsep strategis dalam menjawab pertanyaan : Mengapa Singaraja perlu dibangun sebagai sebuah kota pendidikan. Dengan landasan yang bersifat strategis, maka akan mendorong pengambil kebijakan berkomitmen, berketetapan, berkesinambungan dan fokus. Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah pembagian peran dan sinergitas berbagai pihak. Untuk itu diperlukan cetak biru yang menjangkau rentang waktu minimal 20 tahun. Hal ini menjadi penting untuk menghindari tumpang tindih perencanaan, saling menunggu dan inefisiensi dana ditengah banyaknya daftar prioritas yang harus diperhatikan pemerintah kabupaten. Barangkali inilah yang dimaksud oleh Romi perlunya sebuah payung hukum berupa Perda (Peraturan Daerah). Dengan adanya perda akan dapat menyatukan energi eksekutif dan legislatif dalam memperjuangkan konsep kota pendidikan sampai ke pusat. Selain itu, diperlukan keberanian untuk “memproklamirkan” diri sebagai kota pendidikan. Kalau sekarang ini, pernyataan diri sebagai kota pendidikan masih sebatas dengan baliho saja di beberapa sudut kota. Bagi penduduk atau pendatang yang kebetulan membaca baliho tersebut akan mengetahuinya, tetapi bagi yang tidak sempat membaca tentu tidak sadar bahwa dirinya sedang berada di sebuah kota pendidikan. Cobalah tiru Yogyakarta yang belum lama ini Sri Sultan Hamengku Buwono X langsung mendeklarasikan Yogyakarta sebagai “Kota Republik”. Dengan expose dan deklarasi tersebut akan membuat semua orang, termasuk yang tidak tinggal di Yogyakarta, mengetahui bahwa sekarang Yogyakarta memiliki atribut sebagai Kota Republik.

Gerbong Ekonomi
Salah satu alasan strategis mengapa Singaraja perlu didorong menjadi kota pendidikan adalah alasan ekonomi. Satu dari sekian banyak penggerak suatu kehidupan ekonomi adalah pergerakan penduduk, yaitu bertambahnya penduduk. Penduduk yang datang ke suatu wilayah sangat berpotensi menggerakkan roda ekonomi wilayah tersebut. Sebagai kota pendidikan, maka akan datang ribuan mahasiswa dan pelajar dari luar daerah. Mereka datang sebagai pelajar dan/atau mahasiswa, berusia muda, enerjik, dan sekaligus tentu saja membawa uang. Dan uang yang mereka bawa dari kota asalnya pasti dibelanjakan habis di kota tempat mereka belajar. Berbagai sektor riil ekonomi akan dengan mudah menggeliat, seperti gerbong kereta api yang bergerak bersama karena ditarik oleh sebuah lokomotif. Beberapa contoh antara lain : usaha rumah kost, warung makan, fotocopy, bengkel sepeda motor, gerai pulsa dan hp, warnet, toko buku-alat tulis, swalayan dan masih banyak lainnya. Seandainya 10.000 mahasiswa datang dari berbagai kota lain, itu berarti kota-kota tersebut berpartisipasi mendongkrak kota pendidikan (kota singaraja). Patut dicatat bahwa Kota Pendidikan sulit akan dilanda resesi/krisis ekonomi, karena pelajar/mahasiswa akan tetap mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya yang tinggal di kota lainnya.
Walaupun berbagai perhitungan diatas kertas tentang manfaat ekonomi yang akan dirasakan oleh suatu kota dan masyarakatnya cukup positip, namun tentu saja tidak serta merta akan mudah menarik pelajar/mahasiswa dari luar kota Singaraja untuk belajar di Singaraja. Disinilah partisipasi warga masyarakat Kota Singaraja menjadi penting. Tersedianya tempat-tempat pemondokan yang baik dan murah, keramah tamahan warga kota, tempat-tempat makan yang sehat dan murah, cukup memadai tempat-tempat rekreasi dan keamanan yang terjaga menjadi faktor-faktor penting. Dan yang tidak kalah penting adalah terjangkaunya biaya sekolah maupun biaya kuliah. Jika semua ini dapat dipertahankan maka kita sangat optimis Singaraja akan mudah menyebut diri sebagai Kota Pendidikan.

Mencegah Bencana Lebih Besar


Bali ternyata tidak steril dari bencana. Beberapa bencana sudah terjadi seperti tanah longsor, banjir bandang dan angin ribut. Korban akibat bencana tersebut malahan sudah berjatuhan. Di Desa Titab, Kecamatan Busungbiu, pada malam tahun baru, bencana banjir bandang dan air bah yang melewati Tukad Saba mengakibatkan korban meninggal 2 orang, yaitu Kadek Yudi Eka Setiawan (30 th) dan Ketut Sepiran (55), selain itu jembatan yang menghubungkan desa Titab dan kota kecamatan Busungbiu terputus, banyak hewan hanyut dan mati serta beberapa rumah terseret air bah tersebut. Untuk di Buleleng, sebelumnya juga sudah terjadi bencana tanah longsor di desa Ambengan, Kecamatan Sukasada. Tidak hanya di Buleleng, kejadian tanah longsor di Tabanan menyebabkan beberapa rumah tertimbun tanah, walaupun tidak ada korban jiwa. Dan bencana terakhir adalah di Karangasem, Kecamatan Seraya,Tukad Prit yang biasanya kering kerontang tiba-tiba mendapatkan kiriman air yang sangat besar dari hulunya. Korban meninggal juga tak dapat dihindarkan, bahkan 2 orang yang meninggal ini berusia muda, Ni Luh Putu Ayu (12) dan Nengah Wardana (14) masih kelas 1 smpn 3 Seraya. Duka mendalam sangat dirasakan oleh keluarga ke 2 korban tersebut. Masih di Karangasem, yaitu di desa Rendang dalam waktu bersamaan dengan bencana di Tukad Prit, juga terjadi bencana banjir di Tukad Arca dan menimbulkan korban nyawa bernama Sri Ningsih. Musibah angin ngelinus yang terjadi di Banjar, Tohpati, Bebandem Karangasem menyebabkan 3 rumah hancur. Denpasar pun tidak luput dari banjir.

Kerusakan Di Hulu
Nampaknya dari bencana tanah longsor dan banjir maupun angin ribut di Bali tersebut, sebagian diyakini sebagai akibat dari dampak pemanasan global, terutama yang berkaitan dengan munculnya angin ribut, hujan yang berkepanjangan sampai hari ini dan ombak besar. Dalam beberapa bulan ini suatu keadaan yang disebut dengan anomali cuaca dan iklim sedang berlangsung. Diberbagai belahan dunia lainnya seperti Australia dan China merasakannya. Namun sebagian lainnya seperti banjir dan tanah longsor tidak lain ulah masyarakat sendiri yang tidak memperhatikan kelestarian hutan di daerah hulu.
Banjir bandang tentunya merupakan kiriman air dalam jumlah banyak dari hulu secara tiba-tiba. Curah hujan yang tinggi dan terus menerus di hulu semestinya bisa diserap kedalam tanah bila masih banyak pohon-pohon besar di dataran yang lebih tinggi. Tetapi karena banyak terjadi penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat, maka pertahanan hutan terhadap gempuran hujan yang terus menerus itupun hancur. Banyak sebab mengapa masyarakat melakukan penebangan liar. Selain untuk memperoleh kayu, juga dimaksudkan untuk alih lahan menjadi pertanian bunga maupun daerah pemukiman. Hutan dibakar dan dijarah oleh masyarakat. Menurut catatan Dinas Kehutanan Bali, setiap tahun sekitar 500 Hektar hutan mengalami kerusakan akibat ulah manusia. Untuk Buleleng, daerah hulunya ada di sekitar danau Buyan dan Tamblingan. Generasi zaman dulu sebetulnya sudah membentengi wilayah itu dari kemungkinan jarahan manusia dengan menyatakan bahwa daerah tersebut adalah daerah yang disucikan dan dikeramatkan. Apalagi sumber air utama masyarakat Buleleng ada di daerah ini. Jadi hidup matinya masyarakat Buleleng tergantung dari seberapa mampu kita menjaga kelestarian daerah pegunungan Buyan dan Tamblingan.

Mengendalikan Investor
Selain prilaku masyarakat yang menghancurkan sendiri hutannya, dari sisi pemerintahpun tergoda untuk mengembangkan kawasan hutan. Ambisi pembangunan yang sudah mulai merambah hutan lindung sering tidak memperhitungkan dampaknya dikemudian hari. Sebagai contoh, beberapa kali pemerintah kabupaten Buleleng mencoba-coba untuk membangun Taman Wisata di Buyan ataupun jenis wisata lainnya. Syukurlah masih ada elemen-elemen masyarakat Bali yang gencar menolaknya, sehingga Gubernur dapat mencegah pengembangan di daerah Buyan-Tamblingan tersebut. Bila investor diijinkan menggarap daerah tersebut, bukan tidak mungkin akan terjadi penebangan pohon-pohon besar disana, karena umumnya kontrol dan pengawasan kita sangat lemah. Yang kita khawatirkan adalah tidak samanya kata dan perbuatan dari investor. Diawal saat lobby-lobby untuk meloloskan proyek, investor akan banyak mengumbar janji, misalkan berjanji memberikan kontribusi 10 persen untuk konservasi, pemberdayaan masyarakat disekitarnya, reboisasi dan pemeliharaan pura. Tetapi karena pengawasan lemah baik dari pemerintah maupun dari masyarakat, maka sering terjadi pelanggaran investor dalam bentuk penebangan liar pohon-pohon yang dilindungi. Karena Bali milik masyarakat Bali dan bukan milik investor, maka seyogyanya kita mampu mengendalikan kemauan investor.
Musibah banjir bandang yang mengalirkan air bah dalam volume besar baik yang terjadi sepanjang Tukad Saba, Tukad Pritt dan Tukad Arca menunjukkan bahwa daerah hulu sungai tersebut sudah gundul. Kondisi ini tentu membutuhkan perhatian yang besar dari pemerintah. Kondisi rawan juga terjadi sepanjang daerah aliran sungainya. Tidak ada lagi pohon-pohon disepanjang daerah aliran sungai tersebut yang berfungsi menahan longsor tanah disekitarnya. Keadaan ini sangat membahayakan rumah-rumah yang ada disepanjang pinggir sungai. Kondisi yang berbahaya ini sekali lagi sebetulnya diciptakan oleh manusia sendiri. Bentang aliran sungai tahun demi tahun cenderung menyempit, baik lebar sungai maupun kedalaman sungai. Akibatnya daya tampung sungai terhadap air yang dating dari hulu juga menurun.

Partisipasi Masyarakat
Lampu kuning sudah menyala, bahwa kualitas lingkungan di Bali sudah menurun. Sebelum bencana banjir yang lebih besar akan menimpa pulau Bali, maka pemerintah dan masyarakat harus segera turun tangan. Jangan menunggu sampai kejadian seperti di Wasior,Papua menimpa Bali. Di Wasior, bencana banjir dan longsor disana menimbulkan korban yang luar biasa, yaitu korban meninggal mencapai 150 Orang dan kerugian material sampai 300 milyar rupiah. Mendesak program-program yang peduli lingkungan seperti reboisasi hutan yang gundul, rehabilitasi dan revitalisasi sungai sungai di Bali dan penanganan sampah plastik. Gerakan masyarakat yang berkaitan dengan program lingkungan tersebut harus didorong dan ditumbuhkan didalam masyarakat. Masyarakat Bali memiliki budaya gotong royong yang kuat dengan sistem banjarnya. Misalkan, berikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mengawasi misalkan penyempitan lebar sungai. Jika penyempitan tersebut disebabkan oleh pembangunan rumah oleh oknum masyarakat, maka masyarakat sekitarnya yang perlu menegur. Soal pembuangan sampah ke sungai oleh masyarakat maupun bertumpuknya sampah plastik di sungai mesti dapat diselesaikan juga oleh masyarakat setempat.

Sabtu, 08 Januari 2011

Menafsirkan Ulang Kisah Lubdaka


Belum berselang lama ini, yaitu pada hari Senin 3 Januari 2011 yang baru lewat adalah hari yang disucikan oleh pemeluk Hindu. Hari tersebut dirayakan sebagai Hari Ciwaratri, dan malam harinya umat Hindu berdatangan ke Pura untuk bersama-sama melaksanakan persembahyangan, dharma tula dan sebagian akan melanjutkan “mekemit”/tidak tidur sampai pagi harinya. Bagi yang mampu melaksanakannya, 3 hal akan dilakukan selama hari Ciwaratri tersebut, yaitu : monabrata (menahan diri untuk tidak berbicara), upawasa (atau puasa, yaitu tidak makan) dan jagra (tidak tidur sampai pagi harinya).

Lubdaka Bermalam Di Hutan
Setiap Ciwaratri datang, pikiran kita otomatis melompat ke kisah Lubdaka, kisah tentang seorang pemburu binatang bernama Lubdaka yang harus bermalam di hutan karena “terpaksa”. Hari itu Lubdaka kurang beruntung, sejak pagi hingga sore dia samasekali belum mendapatkan binatang buruan. Terbayang dibenaknya, istri dan anak-anaknya tentu sangat mengharapkan hasil buruannya hari itu. Getir membayangkan hal tersebut, Lubdaka urung pulang ke rumah dengan tangan hampa. Diapun terus merangsek kedalam hutan, bertekad untuk memperoleh hasil. Tanpa disadarinya dia sudah semakin jauh berada ditengah hutan, sehingga dia harus bermalam. Takut dengan ancaman binatang buas, Lubdaka memilih naik ke pohon besar dan duduk disebuah dahan ranting yang cukup kuat menahan tubuhnya. Persis dibawah dahan tersebut ada kolam. Agar tidak mengantuk, Lubdaka memetik daun sehelai demi sehelai sampai matahari pagi terbit. Setiap helai daun yang dipetiknya itu dibuang kebawah dan jatuh di kolam.
Kira-kira demikian ringkas ceritra Lubdaka. Penulisnya disebut Mpu Tanakung. Siapakah Mpu Tanakung ? Tidak ada yang mengetahui riwayatnya. Ada yang menduga Tanakung dari “Tan Aku” yang kira-kira berarti bahwa penulis kisah Lubdaka ini tidak ingin menampilkan dirinya. Cerita lanjutannya, Lubdaka pagi harinya pulang dengan tangan hampa. Dikisahkan sejak saat itu Lubdaka berhenti menjalani profesi pemburu dan menjadi petani.
Tanpa setahu Lubdaka sendiri, malam dia menahan kantuk itu rupanya adalah malam Dewa Shiwa melakukan tapa yoga semadi. Karena Lubdaka ikut berjaga (tidak tidur) saat Dewa Shiwa melakukan tapa yoga semadi, dia mendapatkan reward dari Dewa Shiwa berupa peleburan dosa-dosanya. Itulah sebabnya malam Ciwaratri disebut juga malam peleburan atau pengampunan dosa.


Tafsir Yang Berbahaya
Tafsir atau pemaknaan tentang kisah Lubdaka tersebut sangat beragam. Dan hal tersebut wajar-wajar saja. Sejauh tafsir tersebut bisa membelokkan tingkah laku manusia ke arah yang positip, maka barangkali kita bisa anggap sebuah tafsir itu benar. Dan bila ada tafsir yang lain yang juga memberi pencerahan spiritual, maka tafsir itupun tidak perlu disalahkan. Bukankah tidak ada monopoli dalam menafsirkan sesuatu di zaman sekarang ini. Yang paling banyak dilakukan orang saat malam ciwaratri adalah tidak tidur sampai pagi. Ini seperti melakukan napak tilas dari apa yang telah dilakukan oleh Lubdaka, walaupun tidak persis 100 %. Jika napak tilasnya benar, maka orang harus bertahan tidak tidur diatas dahan ranting pohon, lalu membuang helai demi helai ranting pohon kebawah sampai pagi. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh umat Hindu sekarang ini, sebab berapa banyak pohon yang harus disediakan untuk ribuan umat Hindu yang melaksanakan “jagra” tersebut. Penulis menyaksikan beberapa sekolah di Buleleng, dari SD,SMP dan SMA/SMK melaksanakan persembahyangan bersama pada malam hari Ciwaratri dilanjutkan dengan melékan sampai pagi. Remaja maupun muda mudi memenuhi Pura Jagatnatha untuk begadang sampai pagi. Tidak ada yang salah bila mereka melakoni malam ciwaratri dan menghayatinya dengan cara seperti itu, bahkan barangkali mereka juga sudah dibekali oleh guru mereka bahwa malam itu adalah malam pengampunan dosa.
Benarkah bahwa bila malam Ciwaratri kita tidak tidur sampai pagi akan membuat dosa-dosa kita terlebur ? Bukankah ini semacam pembodohan ? Masuk akalkah dosa yang dilakukan selama 364 hari akan terhapus hanya dengan cara bagadang semalam pada malam Ciwaratri ? Betapa berbahayanya dunia ini jika keyakinan ini merasuk ke sanubari umat Hindu, sebab orang-orang akan leluasa berbuat jahat, toh pada akhirnya seluruh dosa yang dibuat melalui kejahatan akan bisa dilebur pada malam Ciwaratri. Dari sudut pandang ini, kita perlu memberikan tafsir ulang atas kisah Lubdaka tersebut. Hemat penulis, tidak mungkin Mpu Tanakung membuat kisah Lubdaka untuk mensimplifikasi masalah dosa dan pengampunannya.

Pengendalian Diri
Monabrata, Upawasa dan Jagra sesungguhnya 3 fondasi utama yang saling berkaitan untuk mencapai tingkat pengendalian diri yang baik. Ketiga hal tersebut sejatinya sangat sulit untuk dilakukan dalam kehidupan ini. Misalkan soal menahan diri untuk bicara seperlunya atau menahan diri untuk diam disaat diperlukan adalah pekerjaan mental yang amat sulit dilaksanakan. Contoh mutakhir, Mendagri Gamawan Fauzi dikritik karena dianggap terlalu banyak bicara dalam polemik RUUK Yogyakarta. Banyak yang berpendapat, bahwa dalam situasi emosional masyarakat Yogya Gamawan hendaknya bisa lebih mengendalikan diri dalam berbicara. Demikian pula soal Upawasa (tidak makan). Semua agama memiliki anjuran agar umatnya dapat berpuasa, karena puasa adalah latihan untuk mengendalikan diri. Penerapan Upawasa dalam kehidupan sehari hari akan menyelamatkan kehidupan kita. Misalkan orang yang menderita penyakit kencing manis, pengendalian nafsu makan sangat dipentingkan. Jika tidak, maka jangan heran kadar gula yang bersangkutan akan naik. Jagra atau tidak tidur semalaman adalah latihan untuk menahan kantuk. Kemampuan mengendalikan rasa kantuk akan sangat bermanfaat juga dalam kehidupan sehari hari. Mahasiswa atau pelajar yang akan menghadapi ujian harus mampu menahan kantuk karena harus belajar.Para supir juga harus bisa menahan kantuk, dan masih banyak lagi profesi yang membutuhkan kemampuan menahan kantuk. Jadi jika ketrampilan monabrata, upawasa dan jagra sudah dikuasai, maka yang bersangkutan akan lebih mudah mengendalikan dan menguasai dirinya, dan akhirnya akan terselamatkan dari kehidupan ini. Untuk menguasai seni monabrata, upawasa dan jagra tersebut tidaklah cukup bila hanya dilakukan sekali dalam setahun. Latihan harus dilakukan berulang-ulang, karena latihan yang berulang-ulang akan mengasah ketrampilan.
Lalu, kisah Lubdaka memetik daun (dikisahkan 108 helai) helai demi helai dan dibuang ke kolam yang ada dibawahnya untuk membuat dia tetap terjaga kira-kira memiliki makna apa ? Bagi penulis, hal tersebut bermakna bahwa kita perlu memberikan kontribusi /kepedulian kepada kehidupan ini agar kita tetap terjaga dalam menjalani kehidupan ini. Ada 108 jenis kontribusi/kepedulian yang dapat diberikan. Jadi, mari kita tafsirkan ulang kisah Lubdaka ini. (***)

Minggu, 02 Januari 2011

MENYOAL PROGRAM KONVERSI MITAN KE GAS


Teror ledakan gas elpiji sungguh sangat mencekam kita sepanjang paruh pertama 2010 ini. Jumlah korban luka bakar maupun korban harta benda sudah terbilang sangat banyak. Berdasarkan data Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), pendataan dilakukan mulai 2008 - Juli 2010, ternyata sudah terjadi setidaknya 189 kali kasus ledakan dalam pemakaian tabung gas elpiji rumah tangga. Dan rinciannya, 2008 meliputi 61 kasus, kemudian 50 kasus pada 2009. Tapi meningkat tajam hingga pertengahan 2010 ini, menembus 78 kasus. Jumlah ini sangat memprihatinkan mengingat dalam setiap ledakan menimbulkan korban manusia dan harta benda.
Akibat seringnya terjadi ledakan gas elpiji ini, masyarakat mulai gentar untuk terus/berlanjut menggunakan gas di dapur mereka. Masyarakat ingin kembali kepada minyak tanah, walaupun harganya lebih mahal. Hal ini bisa jadi akan merupakan ancaman serius bagi program pemerintah yang digulirkan sejak tahun2007 silam, yaitu gerakan konversi dari minyak tanah (mitan) ke gas. Kala itu pemerintah sudah memprogramkan guna mengkonversi pemakaian sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kepada pemakaian 3,5 juta ton elpiji hingga tahun 2010 ini. Diharapkan melalui program ini pemerintah dapat menghemat anggaran subsidi sebanyak kurang lebih 30 trilliun rupiah. Di sisi masyarakat, pemerintah mengklaim bahwa dengan program ini masyarakat akan merasakan pula efisiensi dan penghematan. Karena dikatakan bahwa pemakaian minyak tanah 1 liter sama dengan 0,4 kg gas elpiji. Maka dengan 3 kg gas elpiji seharga Rp 12.750 akan setara dengan minyak tanah 7 liter seharga Rp 17.500. Jadi dengan pemakaian 3 kg gas elpiji, masyarakat diharapkan akan menghemat lebih kurang Rp 4.750. Puja-puji terhadap program inipun berlanjut, yaitu pemakaian elpiji untuk rumah tangga lebih praktis, efisien, lebih bersih, dan lebih menyenangkan. Upaya mendorong masyarakat, khususnya lapisan menengah bawah untuk memakai elpiji dapat juga dilihat sebagai upaya meningkatkan mutu kehidupan masyarakat. Masyarakat yang bisa menikmati jenis energi yang bersih ini tentu tidak hanya mereka dari kelompok menengah atas, tetapi juga kelompok menengah kebawah.
Tetapi, segala efisiensi dan puja puji maupun promosi pemerintah tersebut akan sirna tanpa bekas tertiup oleh ketakutan masyarakat. Jika pemerintah tidak responsif serta sensitif terhadap suasana kebatinan masyarakat ini, bukan mustahil ledakan-ledakan beruntun yang telah terjadi tersebut akan sangat mempengaruhi strategi nasional penggunaan gas, dan target penghematan 30 trilliun itu tidak tercapai. Langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah misalkan membenahi kelemahan-kelemahan yang masih ada dalam program konversi minyak tanah ke gas tersebut, termasuk juga memperhatikan dan menyantuni para korban.
Kajian yang dilakukan oleh berbagai kalangan terhadap ledakan gas elpiji ini menunjuk kepada beberapa kelemahan. Pertama adalah, pemerintah kurang intensif memberikan sosialisasi, terkesan asal-asalan dengan materi sosialisasi yang tidak lengkap. Hal penting pertama yang harus dilakukan pemerintah ialah merubah paradigma berfikir masyarakat, yang semula biasa menggunakan kompor minyak tanah menjadikan mereka paham tentang manfaat serta cara mengoperasikan kompor gas. Masyarakat juga wajib diberitahu bahaya yang mungkin timbul jika tidak melaksanakan dengan tepat cara mengoperasikan kompor gas. Perilaku gas sangat berbeda dengan perilaku minyak tanah, sehingga menghandle gas akan berbeda dengan minyak tanah. Misalkan, bahan bakar gas adalah gas, yang memiliki sifat mengisi seluruh ruang dimana dia berada, berbeda dengan minyak tanah yang ditampung di dalam sebuah wadah dan bisa diisolasi ditempat tertentu, walaupun didekatnya ada sumber api. Bahan bakar gas memang diisolasi didalam sebuah tabung, namun bila tabung tersebut bocor, maka gas yang keluar dari tabung akan segera memenuhi ruang disekitarnya. Untuk mengurangi konsentrasi gas dalam sebuah ruangan, maka ruangan tersebut perlu memiliki sirkulasi udara yang baik, tidak sempit dan lain sebagainya. Sifat gas ini menyebabkan syarat dapur berbeda bila menggunakan gas. Tapi kenyataannya, hampir kita tidak pernah melakukan perubahan dapur walaupun kita sudah beralih ke gas.
Kedua, banyaknya perangkat sistem elpiji 3 kg tidak memenuhi syarat mutu Standar Nasional Indonesia (SNI). Terlihat dari temuan Badan Standar Nasional (BSN) ketika melakukan survei di lima provinsi pada 2008, yang menemukan tidak terpenuhinya syarat mutu itu pada komponen-komponen selang (100 persen), katup tabung (66 persen), kompor gas (50 persen), regulator (20 persen), dan tabung (7 persen). Tiga titik rawan sebagai tempat gas bocor malahan diperparah dengan kondisi komponen-komponen tersebut. Yaitu sambungan antara katup tabung gas dengan regulator, sambungan antara regulator dan selang gas. Dan, sambungan antara selang gas dan kompornya. Diantara 3 titik rawan tersebut , di sambungan antara katup tabung dan regulator yang paling sering terjadi kebocoran. Tidak bisa dipungkiri, titik lemah dari katup tersebut ada di karet cincin penyekat (berbentuk gelang, dan biasa disebut karet Seal) yang dipasang didalam katup. Sekalipun harga karet Seal tersebut sangat murah, namun dia mengemban tugas yang berat serta vital, yaitu menahan tekanan gas dari dalam tabung sampai sebesar 7 atmosfir. Tekanan ini cukup besar, kira-kira sama dengan tekanan kompressor tambal ban di pinggir jalan. Saat pengguna menukarkan tabung gas yang sudah kosong (baik tabung 3 kg atau tabung 12 kg) dengan tabung gas yang penuh isinya, kemudian memasang regulatornya ke tabung gas yang baru tersebut , sering didapati timbul bunyi mendesis yang menandakan adanya kebocoran gas. Karena pemakaian berkali-kali buka-tutup regulator menyebabkan karet Seal tersebut kehilangan daya lenturnya, sehingga tidak lagi mampu menahan tekanan sebesar itu. Kemudian gas bocor, keluar dari tabung melalui katup tabung. Pengguna sering mengganti sendiri karet Seal pada katup tersebut. Biasanya karet Seal yang dipakai merupakan karet Seal bekas sebelumnya. Semestinya tempat pengisian ulang tabung gas yang mengecek sekaligus mengganti karet Seal yang sudah tidak layak pakai.
Ketiga, disparitas harga antara tabung 3 kg dengan tabung 12 kg. Harga keekonomian elpiji saat ini seharusnya Rp 7.680 per kilogram. Tetapi Pertamina harus menjual elpiji 12 kg dengan Rp 5.850 dan 3 kg dengan Rp 4.750 per kilogram. Selisih harga keekonomian mencapai Rp 1.100 per kg. Hal ini memicu praktek penyuntikan elpiji oleh para pengoplos. Mereka menyedot isi tabung 3 kg untuk dimasukkan ke tabung 12 kg. Bahkan ditenggarai, nafsu pengoplos yang ingin untung banyak tersebut, hanya memindahkan isi dari 3 tabung gas 3 kg ke tabung gas 12 kg. Jadi tabung gas 12 kg hanya diisi 9 kg. Akibat kerja tangan mereka tersebut menjadi salah satu sebab kerusakan karet seal yang ada pada katup tabung 3 kg, sebab para pengoplos itu menyuntik paksa katup tabung 3 kg untuk mengeluarkan gas yang ada didalamnya.
Beberapa kelemahan yang telah diuraikan diatas hendaknya menjadi perhatian pemerintah, sebab jika tidak, maka program konversi mitan ke gas berpotensi mengalami kegagalan. Dan teror ledakan gas elpiji pun akan terus menghantui kita semua dengan korban yang terus berjatuhan. (***)

KABUPATEN TIDAK RELA MENYERAHKAN RSBI KEPADA PROVINSI (KASUS BALI)


Polemik seputar pengelolaan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) agaknya segera berakhir. Sebab aturan main memang mempertegas bahwa RSBI SMP, SMA/SMK berada dalam domain pengelolaan pemerintah propinsi. Hal ini sebagaimana dilansir harian Radar Bali 19 Juli yang lalu. Kabag Hukum dari Biro Hukum & Organisasi Kemendiknas , Bapak Muslikhin, menjelaskan langsung tentang kepastian pengelolaan RSBI ini kepada Bapak Ketut Kariasa Adnyana, yang tak lain adalah wakil ketua komisi IV. Namun hanya berselang 2 hari kemudian, Menteri Pendidikan Nasiona (Mendiknas) Muhammad Nuh pada 21 Juli di Gedung Lila Bhuana Denpasar mengklarifikasi lagi secara langsung, bahwa siapa yang mengelola RSBI itu tidak penting, pemerintah kabupaten ataukah pemerintah propinsi, asal dengan catatan pengelola mampu meningkatkan servis terbaik. Dengan demikian selanjutnya tidak perlu ada perdebatan lagi soal siapa yang mengelola RSBI. Tarik menarik sekolah RSBI antara pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten secara prinsip sudah harus selesai. Kemudian tentu hanya perkara teknis dan administratif yang perlu dibahas antara Kadisdik Propinsi dan Kadisdik Kabupaten/Kota dalam membicarakan mengenai siapa yang akan mengelola RSBI. Seandainya pemerintah kabupaten/kota merasa mampu, maka berdasarkan “statement” Pak Menteri, pemerintah kabupaten/kota tersebut tetap dapat mengelola RSBI. Namun seandainya kabupaten/kota tidak mau dananya tersedot ke RSBI cukup besar, maka langkah yang bijaksana adalah menyerahkan RSBI ke propinsi. Para orang tua yang memiliki anak bersekolah di sekolah RSBI pun bisa bernafas lebih lega, mereka memiliki harapan beban uang komite bisa diperingan lagi. Harapan ini wajar, mengingat dengan sekolah RSBI tingkat SMP. SMA/SMK diserahkan ke propinsi, adalah menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi menyuntikkan dana yang memadai kepada sekolah – sekolah RSBI. Tujuannya adalah agar sekolah tersebut dalam periode waktu rintisan ini benar-benar dapat berbenah diri, sehingga pada saatnya berhasil menjelma menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Itu berarti sekolah RSBI sudah bisa mempersiapkan program sekolah berdasarkan kucuran dana yang siap diguyurkan propinsi. Misalkan saja, bagaimana sekolah dapat mengejar kemampuan “plus” setelah dianggap berhasil mencapai standar nasional pendidikan (SNP), lalu untuk mendukung proses pembelajaran berbasis TIK (Teknologi Informatika dan Komputer) seberapa banyak sarana dan prasarana yang harus disiapkan, dibidang tenaga pendidik perlu dibuat listing kemampuan bilingual para guru serta meningkatkan kapasitas mereka dari S1 menjadi S2/S3 sehingga segera dapat dipenuhi kriteria sekolah RSBI. Di sektor manajemen, bagaimana sekolah dapat mengejar standarisasi ISO untuk mencapai manajemen mutu.
Kesempatan Sama
Selama ini upaya-upaya yang dilakukan sekolah masih tertatih-tatih mengingat dana yang mereka kelola sangat terbatas. Realitas fakta di lapangan sungguh pahit, dan merujuk pada data salah satu sekolah RSBI di Singaraja, terungkap bahwa sumber pembiayaan mereka justru lebih banyak dari orang tua siswa (70 %), lalu disusul oleh pemerintah pusat dalam bentuk Grant RSBI (23 %), kemudian baru dari pemerintah propinsi dalam bentuk bansos (5 %) dan terakhir bantuan operasional dari pemerintah kabupaten (2 %). Sumber pembiayaan yang berasal dari orang tua siswa dalam bentuk uang komite bulanan, dan uang iuran sukarela orang tua siswa baru kelas 10. Berdasarkan data yang bisa dihimpun, ternyata uang komite bulanan antar sekolah RSBI di Bali tidaklah merata. Besarannya sangat ditentukan oleh kemampuan ekonomi orang tua siswa. Di kota Denpasar dan kabupaten Badung yang rata-rata daya ekonomi orang tuanya besar, maka uang komite bulanan sekolah RSBI disana hampir 2 kali lipat dari sekolah RSBI kabupaten lainnya di Bali. Dari sini bisa dipahami, bahwa asupan dana yang bisa dikelola oleh masing-masing sekolah RSBI berbeda-beda yang pada akhirnya membedakan gerakan sekolah tersebut dalam persiapan menuju SBI. Padahal waktu yang diberikan kepada semua sekolah RSBI untuk mencapai SBI adalah sama yaitu 4 tahun.
Nah jika sekolah RSBI dibantu pembiayaannya oleh propinsi dalam jumlah yang memadai untuk sebuah sekolah RSBI, maka akan ada “fairness” bagi seluruh sekolah RSBI untuk berkompetisi menjadi SBI. Peluang akan bertambah besar bagi sekolah RSBI agar lulus menjadi SBI. Pun semua RSBI di Bali akan mendapatkan kesempatan yang sama untuk meraih predikat SBI, terlepas apakah sekolah RSBI tsb berada di kabupaten/kota yang kesejahteraan masyarakatnya baik atau berada di kabupaten yang daya ekonominya lemah. Hal ini hanya mungkin tercapai kalau komposisi pembiayaan yang ideal bisa dipenuhi yaitu, dari pemerintah pusat 25 %, pemerintah propinsi 60 %, pemerintah kabupaten tetap 2 % saja dan orang tua siswa cukup sekitar 13 %. Besaran ini tentu akan meringankan beban orang tua siswa dan membuka peluang menjaring siswa pintar namun kondisi ekonomi orang tuanya kurang beruntung. Selama ini anak-anak miskin tapi pintar cenderung menghindar dari sekolah RSBI.
Dukungan Orang Tua Siswa
Hal menarik dan patut disimak disini adalah bagaimana sesungguhnya pendapat masyarakat khususnya orang tua siswa ? Sementara di level penentu kebijakan masih saling tarik menarik soal RSBI ini, ternyata dukungan orang tua siswa SMAN 1 Singaraja sangat besar agar sekolahnya memperoleh kesempatan yang sama untuk naik peringkat menjadi SBI. Fakta ini terungkap lewat angket yang dibuat oleh pengurus komite SMAN 1 Singaraja kepada para orang tua siswa berkenaan dengan pengelolaan RSBI. Angket dilaksanakan pada 1 Desember 2009 yang lalu memang mengangkat kehadiran PP 38/2007 yang tidak kunjung dijalankan oleh pemerintah propinsi karena terbentur kendala penolakan pemerintah kabupaten menyerahkan pengelolaan RSBI. Salah satu dari pertanyaan yang krusial dalam angket tersebut adalah : Apakah Bapak/Ibu setuju pengelolaan SMAN 1 Singaraja dikelola oleh pemerintah propinsi, jika itu adalah konsekwensi dari PP 38/2007 ? Ternyata yang setuju jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak setuju. Sebanyak 86 % menyatakan persetujuannya sedangkan 13 % tidak setuju dan 1 % abstain. Kini tinggal para pemangku dan pengambil kebijakan yang menyikapinya. ***