Minggu, 16 Januari 2011

Mencegah Bencana Lebih Besar


Bali ternyata tidak steril dari bencana. Beberapa bencana sudah terjadi seperti tanah longsor, banjir bandang dan angin ribut. Korban akibat bencana tersebut malahan sudah berjatuhan. Di Desa Titab, Kecamatan Busungbiu, pada malam tahun baru, bencana banjir bandang dan air bah yang melewati Tukad Saba mengakibatkan korban meninggal 2 orang, yaitu Kadek Yudi Eka Setiawan (30 th) dan Ketut Sepiran (55), selain itu jembatan yang menghubungkan desa Titab dan kota kecamatan Busungbiu terputus, banyak hewan hanyut dan mati serta beberapa rumah terseret air bah tersebut. Untuk di Buleleng, sebelumnya juga sudah terjadi bencana tanah longsor di desa Ambengan, Kecamatan Sukasada. Tidak hanya di Buleleng, kejadian tanah longsor di Tabanan menyebabkan beberapa rumah tertimbun tanah, walaupun tidak ada korban jiwa. Dan bencana terakhir adalah di Karangasem, Kecamatan Seraya,Tukad Prit yang biasanya kering kerontang tiba-tiba mendapatkan kiriman air yang sangat besar dari hulunya. Korban meninggal juga tak dapat dihindarkan, bahkan 2 orang yang meninggal ini berusia muda, Ni Luh Putu Ayu (12) dan Nengah Wardana (14) masih kelas 1 smpn 3 Seraya. Duka mendalam sangat dirasakan oleh keluarga ke 2 korban tersebut. Masih di Karangasem, yaitu di desa Rendang dalam waktu bersamaan dengan bencana di Tukad Prit, juga terjadi bencana banjir di Tukad Arca dan menimbulkan korban nyawa bernama Sri Ningsih. Musibah angin ngelinus yang terjadi di Banjar, Tohpati, Bebandem Karangasem menyebabkan 3 rumah hancur. Denpasar pun tidak luput dari banjir.

Kerusakan Di Hulu
Nampaknya dari bencana tanah longsor dan banjir maupun angin ribut di Bali tersebut, sebagian diyakini sebagai akibat dari dampak pemanasan global, terutama yang berkaitan dengan munculnya angin ribut, hujan yang berkepanjangan sampai hari ini dan ombak besar. Dalam beberapa bulan ini suatu keadaan yang disebut dengan anomali cuaca dan iklim sedang berlangsung. Diberbagai belahan dunia lainnya seperti Australia dan China merasakannya. Namun sebagian lainnya seperti banjir dan tanah longsor tidak lain ulah masyarakat sendiri yang tidak memperhatikan kelestarian hutan di daerah hulu.
Banjir bandang tentunya merupakan kiriman air dalam jumlah banyak dari hulu secara tiba-tiba. Curah hujan yang tinggi dan terus menerus di hulu semestinya bisa diserap kedalam tanah bila masih banyak pohon-pohon besar di dataran yang lebih tinggi. Tetapi karena banyak terjadi penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat, maka pertahanan hutan terhadap gempuran hujan yang terus menerus itupun hancur. Banyak sebab mengapa masyarakat melakukan penebangan liar. Selain untuk memperoleh kayu, juga dimaksudkan untuk alih lahan menjadi pertanian bunga maupun daerah pemukiman. Hutan dibakar dan dijarah oleh masyarakat. Menurut catatan Dinas Kehutanan Bali, setiap tahun sekitar 500 Hektar hutan mengalami kerusakan akibat ulah manusia. Untuk Buleleng, daerah hulunya ada di sekitar danau Buyan dan Tamblingan. Generasi zaman dulu sebetulnya sudah membentengi wilayah itu dari kemungkinan jarahan manusia dengan menyatakan bahwa daerah tersebut adalah daerah yang disucikan dan dikeramatkan. Apalagi sumber air utama masyarakat Buleleng ada di daerah ini. Jadi hidup matinya masyarakat Buleleng tergantung dari seberapa mampu kita menjaga kelestarian daerah pegunungan Buyan dan Tamblingan.

Mengendalikan Investor
Selain prilaku masyarakat yang menghancurkan sendiri hutannya, dari sisi pemerintahpun tergoda untuk mengembangkan kawasan hutan. Ambisi pembangunan yang sudah mulai merambah hutan lindung sering tidak memperhitungkan dampaknya dikemudian hari. Sebagai contoh, beberapa kali pemerintah kabupaten Buleleng mencoba-coba untuk membangun Taman Wisata di Buyan ataupun jenis wisata lainnya. Syukurlah masih ada elemen-elemen masyarakat Bali yang gencar menolaknya, sehingga Gubernur dapat mencegah pengembangan di daerah Buyan-Tamblingan tersebut. Bila investor diijinkan menggarap daerah tersebut, bukan tidak mungkin akan terjadi penebangan pohon-pohon besar disana, karena umumnya kontrol dan pengawasan kita sangat lemah. Yang kita khawatirkan adalah tidak samanya kata dan perbuatan dari investor. Diawal saat lobby-lobby untuk meloloskan proyek, investor akan banyak mengumbar janji, misalkan berjanji memberikan kontribusi 10 persen untuk konservasi, pemberdayaan masyarakat disekitarnya, reboisasi dan pemeliharaan pura. Tetapi karena pengawasan lemah baik dari pemerintah maupun dari masyarakat, maka sering terjadi pelanggaran investor dalam bentuk penebangan liar pohon-pohon yang dilindungi. Karena Bali milik masyarakat Bali dan bukan milik investor, maka seyogyanya kita mampu mengendalikan kemauan investor.
Musibah banjir bandang yang mengalirkan air bah dalam volume besar baik yang terjadi sepanjang Tukad Saba, Tukad Pritt dan Tukad Arca menunjukkan bahwa daerah hulu sungai tersebut sudah gundul. Kondisi ini tentu membutuhkan perhatian yang besar dari pemerintah. Kondisi rawan juga terjadi sepanjang daerah aliran sungainya. Tidak ada lagi pohon-pohon disepanjang daerah aliran sungai tersebut yang berfungsi menahan longsor tanah disekitarnya. Keadaan ini sangat membahayakan rumah-rumah yang ada disepanjang pinggir sungai. Kondisi yang berbahaya ini sekali lagi sebetulnya diciptakan oleh manusia sendiri. Bentang aliran sungai tahun demi tahun cenderung menyempit, baik lebar sungai maupun kedalaman sungai. Akibatnya daya tampung sungai terhadap air yang dating dari hulu juga menurun.

Partisipasi Masyarakat
Lampu kuning sudah menyala, bahwa kualitas lingkungan di Bali sudah menurun. Sebelum bencana banjir yang lebih besar akan menimpa pulau Bali, maka pemerintah dan masyarakat harus segera turun tangan. Jangan menunggu sampai kejadian seperti di Wasior,Papua menimpa Bali. Di Wasior, bencana banjir dan longsor disana menimbulkan korban yang luar biasa, yaitu korban meninggal mencapai 150 Orang dan kerugian material sampai 300 milyar rupiah. Mendesak program-program yang peduli lingkungan seperti reboisasi hutan yang gundul, rehabilitasi dan revitalisasi sungai sungai di Bali dan penanganan sampah plastik. Gerakan masyarakat yang berkaitan dengan program lingkungan tersebut harus didorong dan ditumbuhkan didalam masyarakat. Masyarakat Bali memiliki budaya gotong royong yang kuat dengan sistem banjarnya. Misalkan, berikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mengawasi misalkan penyempitan lebar sungai. Jika penyempitan tersebut disebabkan oleh pembangunan rumah oleh oknum masyarakat, maka masyarakat sekitarnya yang perlu menegur. Soal pembuangan sampah ke sungai oleh masyarakat maupun bertumpuknya sampah plastik di sungai mesti dapat diselesaikan juga oleh masyarakat setempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar