Selasa, 25 Januari 2011

Ketika Prabu Yudistira Berbohong

Salah satu episode dalam cerita pewayangan yang amat menarik adalah kisah tentang Aswatama. Dia seorang ksatria dan putra kesayangan Bagawan Drona. Sang Bagawan, sebagaimana kita simak dari cerita Mahabharata, merupakan Mahaguru dari para ksatria Pandawa dan Korawa ketika mereka masih kecil. Aswatama pun mengenyam ilmu militer bersama dengan mereka. Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah. Perang saudara keluarga Bharata di lapangan Kuru (Kurusetra) membuat Pandawa berhadapan dengan Korawa. Aswatama memihak kepada Korawa, sama dengan ayahnya. Dipihak Pandawa hanya ada Sang Kresna, yang dalam perang besar ini menempatkan diri sebagai saisnya Arjuna.

Kebohongan Publik Pandawa
Kekuatan Korawa pada Bagawan Drona, sedangkan tokoh pengatur strategi ulung dipihak Pandawa adalah Sang Kresna. Hanya Kresna yang bisa membaca, bahwa untuk melumpuhkan Korawa haruslah Bagawan Drona dihabisi dulu. Maka Kresna pun mengatur siasat. Pandawa diminta membuat “kebohongan publik”. Strategipun dimulai, Bima disuruh menyebarkan khabar bahwa Aswatama telah terbunuh, walaupun sebenarnya yang dibunuh oleh Bima adalah seekor gajah bernama “Hestitama”. Kakak Kandung Bima yaitu Prabu Yudistira juga disuruh berbohong bila Bagawan Drona menanyakan perihal berita kematian Aswatama. Padahal Yudistira merupakan ksatria Pandawa yang amat jujur dan berbudi pekerti paling luhur. Seumur-umur dia tidak pernah berbohong. Jangankan berbohong, menyakiti binatangpun dia emoh. Tutur katanya santun, dan amat penyabar. Karakternya berbeda 180 derajat dengan Bima. Diseluruh jagat Kerajaan Astina Raya, Yudistira merupakan ksatria yang amat dikagumi dan sangat dipercaya. Namun demi memenangkan suatu peperangan, berbohong “terpaksa” dihalalkan. Kresna tahu bahwa Bagawan Drona pasti akan bertanya kepada Yudistira tentang khabar yang disebarkan oleh Bima tersebut. Dan memang demikian, begitu Bagawan Drona mendengar khabar tentang “kematian” Aswatama, anak kesayangannya, seluruh sendi Bagawan Drona menjadi lemas, kesaktiannya seakan lenyap. Dia lantas ingin memastikan khabar tersebut benar atau salah dengan bertanya kepada ksatria yang dia anggap “tidak mungkin” berbohong, yaitu Yudistira. Sang Ksatria, sesuai dengan permintaan Kresna, hanya menganggukkan kepala ketika mantan guru besarnya , Bagawan Drona, bertanya. Dan anggukan kepala Yudistira dibaca oleh Bagawan Drona sebagai kebenaran berita kematian Aswatama. Akibatnya fatal, Bagawan Drona akhirnya dengan mudah dapat dibunuh oleh Drestadyumena.
Kematian Bagawan Drona karena ulah “kebohongan publik” Pandawa menyulut kemarahan sang Putra, Aswatama. Setelah perang usai, dia menuntaskan dendamnya dengan menyusup masuk saat tengah malam ke perkemahan Pandawa untuk membunuh kelima ksatria Pandawa. Namun dia gagal, dan yang berhasil dibunuh adalah 5 orang putera dari Pandawa, Dewi Drupadi dan Dewi Srikandi.


Motif Berbohong
Ketika seseorang harus berbohong tentu ada motifnya, apalagi seorang ksatria seperti Yudistira. Apa yang terjadi dalam perang Bharatayuda jika Prabu Yudistira tidak berbohong ? Sangat mungkin pemenang Bharatayuda bukan lagi Pandawa melainkan Korawa. Maka seorang Yudistira barangkali sangat sadar akan manfaat kebohongannya, jelas motifnya adalah demi kebaikan, demi memenangkan peperangan melawan Korawa. Dengan begitu, bukankah itu berarti berbohong tidak selalu jelek atau berkonotasi negatif ? Bayangkan pula dalam sebuah keluarga yang suaminya melakukan selingkuh, tentu tanpa sepengetahuan istrinya. Ketika istrinya mencium gelagat selingkuh suaminya lalu sang istri bertanya kepada sang suami, maka sangat mungkin sang suami akan berbohong. Bila saja dia tidak berbohong atau mengatakan sejujurnya bahwa dirinya selingkuh, dapat dibayangkan akan terjadi huru hara dalam rumah tangganya. Jadi, sang suami berbohong demi menyelamatkan nasib perkawinannya. Contoh lain, seorang dokter yang telah mengetahui pasiennya hidup tidak lama lagi, tentu saja dia tidak serta merta harus mengatakan jujur kepada pasiennya. Dalam batas-batas tertentu, seorang dokter diijinkan berbohong untuk meminimalkan perasaan “shock” pasiennya. Maka sang dokter terpaksa berbohong demi ketentraman perasaan pasiennya. Banyak contoh perbuatan berbohong yang memiliki motif baik. Tetapi pada umumnya masyarakat menilai perbuatan berbohong adalah perbuatan yang tidak terpuji. Berbohong dan karakter jelek selalu dianggap bergandengan.
Barangkali karena itulah timbul reaksi keras dari pemerintahan SBY ketika baru-baru ini para tokoh lintas agama menyatakan pemerintahan SBY berbohong. Melalui Menko Ekuin Hatta Rajasa dan Menko Polhukam Djoko Suyanto, pemerintahan SBY tidak terima disebut berbohong. Dan tidak tanggung-tanggung, para tokoh lintas agama mencatat 18 kebohongan yang terdiri dari 9 kebohongan lama dan 9 kebohongan baru. Inilah kritik paling keras selama SBY menjadi Presiden. Tudingan ini mempunyai bobot tersendiri mengingat yang melemparkan ke publik adalah para tokoh agama.

Setgab Bukan Kresna
Mengapa para tokoh agama tersebut bersuara keras ? Mengapa harus menggunakan kata “berbohong” dan bukan kata “gagal” ? Menurut salah seorang staf khusus Presiden, Daniel Sparingga, bahwa jika para tokoh lintas agama menggunakan kata “gagal” atau “ingkar janji” mungkin masih bisa diterima oleh pemerintah. Maka sungguh terkesan dalam pernyataan para tokoh agama tersebut ada semacam frustasi sosial yang menumpuk melihat antara kenyataan dan apa yang diklaim oleh pemerintah.
Sekarang ada gerakan di facebook untuk mendukung para tokoh lintas agama tersebut. Situasi nampaknya akan semakin sulit ketika dukungan masyarakat kepada tokoh lintas agama semakin kuat. Presiden nampaknya harus sendirian berhadapan dengan kritik tokoh agama tersebut. Setgab mungkin tidak bisa diandalkan, dan pada akhirnya barangkali Presiden akan sadar bahwa kalkulasi politik dengan cara membangun koalisi partai hampir sia-sia bila program pemerintah tidak pro Rakyat.
SBY tidak perlu meniru Prabu Yudistira, yang menyembunyikan fakta untuk sebuah kemenangan. Ketika Prabu Yudistira berbohong landasan filosofi berfikirnya berbeda. Prabu Yudistira memiliki Kresna yang arif dan bijaksana, sementara SBY hanya memiliki Setgab.(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar