Minggu, 02 Januari 2011

KABUPATEN TIDAK RELA MENYERAHKAN RSBI KEPADA PROVINSI (KASUS BALI)


Polemik seputar pengelolaan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) agaknya segera berakhir. Sebab aturan main memang mempertegas bahwa RSBI SMP, SMA/SMK berada dalam domain pengelolaan pemerintah propinsi. Hal ini sebagaimana dilansir harian Radar Bali 19 Juli yang lalu. Kabag Hukum dari Biro Hukum & Organisasi Kemendiknas , Bapak Muslikhin, menjelaskan langsung tentang kepastian pengelolaan RSBI ini kepada Bapak Ketut Kariasa Adnyana, yang tak lain adalah wakil ketua komisi IV. Namun hanya berselang 2 hari kemudian, Menteri Pendidikan Nasiona (Mendiknas) Muhammad Nuh pada 21 Juli di Gedung Lila Bhuana Denpasar mengklarifikasi lagi secara langsung, bahwa siapa yang mengelola RSBI itu tidak penting, pemerintah kabupaten ataukah pemerintah propinsi, asal dengan catatan pengelola mampu meningkatkan servis terbaik. Dengan demikian selanjutnya tidak perlu ada perdebatan lagi soal siapa yang mengelola RSBI. Tarik menarik sekolah RSBI antara pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten secara prinsip sudah harus selesai. Kemudian tentu hanya perkara teknis dan administratif yang perlu dibahas antara Kadisdik Propinsi dan Kadisdik Kabupaten/Kota dalam membicarakan mengenai siapa yang akan mengelola RSBI. Seandainya pemerintah kabupaten/kota merasa mampu, maka berdasarkan “statement” Pak Menteri, pemerintah kabupaten/kota tersebut tetap dapat mengelola RSBI. Namun seandainya kabupaten/kota tidak mau dananya tersedot ke RSBI cukup besar, maka langkah yang bijaksana adalah menyerahkan RSBI ke propinsi. Para orang tua yang memiliki anak bersekolah di sekolah RSBI pun bisa bernafas lebih lega, mereka memiliki harapan beban uang komite bisa diperingan lagi. Harapan ini wajar, mengingat dengan sekolah RSBI tingkat SMP. SMA/SMK diserahkan ke propinsi, adalah menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi menyuntikkan dana yang memadai kepada sekolah – sekolah RSBI. Tujuannya adalah agar sekolah tersebut dalam periode waktu rintisan ini benar-benar dapat berbenah diri, sehingga pada saatnya berhasil menjelma menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Itu berarti sekolah RSBI sudah bisa mempersiapkan program sekolah berdasarkan kucuran dana yang siap diguyurkan propinsi. Misalkan saja, bagaimana sekolah dapat mengejar kemampuan “plus” setelah dianggap berhasil mencapai standar nasional pendidikan (SNP), lalu untuk mendukung proses pembelajaran berbasis TIK (Teknologi Informatika dan Komputer) seberapa banyak sarana dan prasarana yang harus disiapkan, dibidang tenaga pendidik perlu dibuat listing kemampuan bilingual para guru serta meningkatkan kapasitas mereka dari S1 menjadi S2/S3 sehingga segera dapat dipenuhi kriteria sekolah RSBI. Di sektor manajemen, bagaimana sekolah dapat mengejar standarisasi ISO untuk mencapai manajemen mutu.
Kesempatan Sama
Selama ini upaya-upaya yang dilakukan sekolah masih tertatih-tatih mengingat dana yang mereka kelola sangat terbatas. Realitas fakta di lapangan sungguh pahit, dan merujuk pada data salah satu sekolah RSBI di Singaraja, terungkap bahwa sumber pembiayaan mereka justru lebih banyak dari orang tua siswa (70 %), lalu disusul oleh pemerintah pusat dalam bentuk Grant RSBI (23 %), kemudian baru dari pemerintah propinsi dalam bentuk bansos (5 %) dan terakhir bantuan operasional dari pemerintah kabupaten (2 %). Sumber pembiayaan yang berasal dari orang tua siswa dalam bentuk uang komite bulanan, dan uang iuran sukarela orang tua siswa baru kelas 10. Berdasarkan data yang bisa dihimpun, ternyata uang komite bulanan antar sekolah RSBI di Bali tidaklah merata. Besarannya sangat ditentukan oleh kemampuan ekonomi orang tua siswa. Di kota Denpasar dan kabupaten Badung yang rata-rata daya ekonomi orang tuanya besar, maka uang komite bulanan sekolah RSBI disana hampir 2 kali lipat dari sekolah RSBI kabupaten lainnya di Bali. Dari sini bisa dipahami, bahwa asupan dana yang bisa dikelola oleh masing-masing sekolah RSBI berbeda-beda yang pada akhirnya membedakan gerakan sekolah tersebut dalam persiapan menuju SBI. Padahal waktu yang diberikan kepada semua sekolah RSBI untuk mencapai SBI adalah sama yaitu 4 tahun.
Nah jika sekolah RSBI dibantu pembiayaannya oleh propinsi dalam jumlah yang memadai untuk sebuah sekolah RSBI, maka akan ada “fairness” bagi seluruh sekolah RSBI untuk berkompetisi menjadi SBI. Peluang akan bertambah besar bagi sekolah RSBI agar lulus menjadi SBI. Pun semua RSBI di Bali akan mendapatkan kesempatan yang sama untuk meraih predikat SBI, terlepas apakah sekolah RSBI tsb berada di kabupaten/kota yang kesejahteraan masyarakatnya baik atau berada di kabupaten yang daya ekonominya lemah. Hal ini hanya mungkin tercapai kalau komposisi pembiayaan yang ideal bisa dipenuhi yaitu, dari pemerintah pusat 25 %, pemerintah propinsi 60 %, pemerintah kabupaten tetap 2 % saja dan orang tua siswa cukup sekitar 13 %. Besaran ini tentu akan meringankan beban orang tua siswa dan membuka peluang menjaring siswa pintar namun kondisi ekonomi orang tuanya kurang beruntung. Selama ini anak-anak miskin tapi pintar cenderung menghindar dari sekolah RSBI.
Dukungan Orang Tua Siswa
Hal menarik dan patut disimak disini adalah bagaimana sesungguhnya pendapat masyarakat khususnya orang tua siswa ? Sementara di level penentu kebijakan masih saling tarik menarik soal RSBI ini, ternyata dukungan orang tua siswa SMAN 1 Singaraja sangat besar agar sekolahnya memperoleh kesempatan yang sama untuk naik peringkat menjadi SBI. Fakta ini terungkap lewat angket yang dibuat oleh pengurus komite SMAN 1 Singaraja kepada para orang tua siswa berkenaan dengan pengelolaan RSBI. Angket dilaksanakan pada 1 Desember 2009 yang lalu memang mengangkat kehadiran PP 38/2007 yang tidak kunjung dijalankan oleh pemerintah propinsi karena terbentur kendala penolakan pemerintah kabupaten menyerahkan pengelolaan RSBI. Salah satu dari pertanyaan yang krusial dalam angket tersebut adalah : Apakah Bapak/Ibu setuju pengelolaan SMAN 1 Singaraja dikelola oleh pemerintah propinsi, jika itu adalah konsekwensi dari PP 38/2007 ? Ternyata yang setuju jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak setuju. Sebanyak 86 % menyatakan persetujuannya sedangkan 13 % tidak setuju dan 1 % abstain. Kini tinggal para pemangku dan pengambil kebijakan yang menyikapinya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar